Minggu, 30 November 2008

PERISTIWA 1 DESEMBER 1961

PERISTIWA 1 DESEMBER 1961
ADALAH REKAYASA KOLONIAL BELANDA
UNTUK TIPU MASYARAKAT PAPUA DAN
MEMECAH BELAH NKRI



FAKTA SEJARAH YANG PERLU MASYARAKAT PAPUA KETAHUI :

1. Menjelang Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag tahun 1949, Belanda bersiap-siap untuk mempertahankan Papua. Menurut pandangan Menteri Wilayah Seberang Lautan Belanda H.J. van Maarseveen, Belanda membutuhkan tanah di Timur Jauh yang bisa dijadikan Tropical Holland untuk menampung orang-orang pro-Belanda yang mengalami kesulitan di Indonesia ; dan Papua bisa menjadi pangkalan Militer Belanda.

2. Kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag tahun 1949 adalah Pemerintah Hindia Belanda mengakui kedaulatan NKRI dari Sabang sampai Merauke tapi menunda integrasi wilayah Papua ke dalam NKRI hingga tahun 1953. Namun hasil KMB ini diingkari oleh Belanda yang selanjutnya diikuti dengan perkuatan administrasi dan kekuatan militernya di Papua.

3. Pada 1957, ada pemikiran untuk mengikutsertakan penduduk asli dalam pemerintahan setempat namun kenyataannya pemilihan penduduk asli Papua tersebut melalui penunjukan oleh Pemerintah Belanda sebagai cara untuk memaksakan terbentuknya dewan-dewan boneka, buatan Belanda.

4. Perkembangan politik di Papua pada tahun 1960-an, menunjukkan besarnya gerakan nasionalisme Indonesia di masyarakat Papua ditambah tekanan dunia internasional untuk menyatukan Papua kedalam NKRI, maka memaksa Belanda untuk membentuk ”Dewan Nieuw Guinea” dan selanjutnya Komite Nasional Papua dimana anggotanya dipilih oleh Pemerintah Belanda.

5. Dengan rekayasa dari Pemerintah Belanda untuk mengurangi tekanan dunia internasional agar mengembalikan Papua kepada Pemerintah Indonesia, maka tanggal 19 Oktober 1961 dilakukan pertemuan Komite Nasional Papua dan Pemerintah Belanda menentukan pengibaran Bendera Papua dilakukan tanggal 1-12-1961 di Hollandia dan lagu Hai Tanahku Papua dinyanyikan bersama-sama dengan lagu kebangsaan Belanda Wilhelmus. Tindakan Pemerintah Belanda tersebut berhasil meredam sementara tekanan dunia internasional serta memecah belah masyarakat Papua yang saat itu sebagian besar sudah berkeinginan untuk bergabung dengan NKRI. Niat Pemerintah Belanda adalah berusaha sekuat tenaga mempertahankan wilayah Papua agar tetap berada di bawah kekuasaan Belanda.



SEKARANG, KITORANG JANGAN PERNAH TERHASUT UNTUK MEMPERINGATI KEJADIAN 1 DESEMBER KARENA BERTUJUAN MERUSAK DAN MEMECAH BELAH KESATUAN BANGSA INDONESIA.

PEMERINTAH BELANDA DAN SEMUA NEGARA ASING TIDAK INGIN MELIHAT BANGSA INDONESIA BERSATU SEHINGGA MENJADI KUAT, MAJU DAN SEJAHTERA. KARENA ITU, SEMUA NEGARA ASING SAMPAI SEKARANG BERUSAHA KERAS UNTUK MEMECAH BELAH BANGSA INDONESIA AGAR BANGSA INDONESIA BISA DIKUASAI OLEH NEGARA ASING DAN MENGERUK SEMUA KEKAYAAN ALAM BANGSA INDONESIA.


”MARI KITORANG SEMUA BERSATU DALAM KEBHINEKAAN UNTUK MEMBANGUN NKRI YANG KUAT, MAJU DAN SEJAHTERA”.

Sabtu, 08 November 2008

BUDAYA PAPUA

Integrasi Kebudayaan Papua dalam Kebudayaan Indonesia


Integrasi kebudayaan berarti penyesuaian antara dua atau lebih kebudayaan mengenai beberapa unsur kebudayaan (cultural traits) mereka yang berbeda atau bertentangan, agar dapat dibentuk menjadi suatu sistem kebudayaan yang selaras (harmonis). Caranya adalah melalui difusi (penyebaran), di mana unsur kebudayaan baru diserap ke dalam suatu kebudayaan yang berbeda melalui modifikasi dan koordinasi dari unsur-unsur kebudayaan baru dan lama.
Integrasi kebudayaan tersebut merupakan proses menuju integrasi sosial lebih lanjut menuju pada identitas sosial yang lebih besar. Integrasi sosial adalah penyatupaduan dari kelompok-kelompok masyarakat yang asalnya berbeda menjadi suatu kelompok besar dengan cara melenyapkan perbedaan dan jati diri masing-masing, namun kelompok-kelompok sosial yang telah bersatu tersebut tetap mempunyai kebudayaan yang berbeda satu sama lain dan bersifat unik (khas), namun menghargai, menerima dan dapat menjadi bagian dari unsur-unsur kebudayaan yang berbeda dari kelompok lain.

Presiden RI pertama Ir. Soekarno pernah menyatakan kepada Ho Chi Minh, Kepala Negara Vietnam Utara, bahwa “Di Indonesia kita tidak mengenal adanya kelompok minoritas. Suku Dayak, Suku Jawa, Suku Papua, Suku Tionghoa bukanlah kelompok minoritas. Tidak ada minoritas, kalau ada minoritas tentu ada mayoritas. Kalau ada mayoritas akan timbul eksploitasi daripada mayoritas terhadap minoritas. Suku berarti kaki, jadi bangsa Indonesia banyak kakinya. Ada kaki Jawa, kaki Batak, kaki Papua, kaki Sumba dan ada kaki peranakan Tionghoa. Kesemuanya adalah kaki-kaki dari satu tubuh, yaitu tubuh bangsa Indonesia”.

Negara dan Bangsa Indonesia secara de jure dan de facto telah sah memiliki wilayah dari Sabang sampai Merauke, berpemerintahan yang berdaulat serta memiliki warga masyarakat yang mendiami wilayah tersebut. Demikian pula wilayah Papua secara de jure dan de facto merupakan wilayah dari negara Republik Indonesia, yang merupakan negara yang lahir melalui perjuangan membebaskan diri dari penjajahan Belanda. Oleh karena itu, pemerintah perlu merumuskan strategi yang mantap, terarah dan terukur guna mewujudkan proses integritas nasional bukan hanya sebatas integritas teritorial, termasuk di wilayah Papua. Dengan adanya integrasi nasional akan memperkuat secara fundamental persatuan dan kesatuan nasional sehingga dapat lebih menjamin terwujudnya negara yang makmur, aman dan tentram.

Fenomena dari segelintir masyarakat Papua saat ini ada upaya untuk lebih menonjolkan unsur suku dengan mengeksploitasi permasalahan adat sebagai perwujudan untuk meraih ambisi politik yang lebih tinggi, namun berpotensi menumbuhkan dan mengembangkan potensi konflik diantara sesama anak bangsa Indonesia. Papua, sebagai wilayah yang sedang aktif membangun dalam kerangka kebijakan Otsus, membutuhkan suatu fundamen yang kuat agar keberlangsungan serta keberhasilan pembangunan dapat terwujud secara hakiki, yaitu identitas kebangsaan Indonesia yang kuat yang tercermin dari adanya rasa bangga dari setiap warga masyarakat Papua sebagai Warga Negara Indonesia serta adanya kesediaan untuk mengabdi demi kepentingan bangsa dan negara. Tanpa itu, pembangunan hanya bersifat ”semu” dan sebatas hasil fisik namun tidak bermakna karena tidak memiliki jiwa (Roh).

Diharapkan kondisi di atas disadari oleh segenap komponen bangsa yang memiliki kepedulian terhadap permasalahan di Papua dan Kebangsaan Indonesia, termasuk seluruh masyarakat Papua yang menjadi subjek dari pembangunan yang dilaksanakan. Oleh karena itu pemerintah (dengan melibatkan partisipasi masyarakat) perlu melakukan beberapa hal sebagai berikut :

1.Perlunya perumusan dan pengesahan UU tentang kewarganegaraan dimana di dalamnya terdapat penanaman dan aktualisasi hak dan kewajiban selaku Warga Negara Indonesia.
2.Menghidupkan kembali Kementerian yang mengurus masalah Kebudayaan Nasional karena perlu langkah-langkah strategis dan implementatif untuk menjamin keberlangsungan proses integrasi nasional yang belum selesai dan tidak akan pernah selesai.
3.Mengembangkan kembali pendidikan tentang dasar-dasar ideologi negara di semua level pendidikan secara bertingkat dan berlanjut namun sesuai konteks perkembangan jaman dan tidak bersifat indoktrinasi.
4.Mensosialisasikan tentang dasar-dasar ideologi negara kepada segenap komponen masyarakat dengan menggunakan berbagai media yang menarik dan selaras dengan kondisi masyarakat sasaran.
5.Menumbuhkan budaya tertib hukum sebagai dasar pelaksanaan dari sistem politik yang demokratis dan beradab.
6.Memberikan ruang untuk memperkenalkan, mempelajari dan mengekspresikan setiap budaya yang hidup dan berkembang di negara Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
7.Menciptakan setiap momentum untuk menumbuhkembangkan kebanggaan selaku Warga Negara Indonesia dengan memanfaatkan segenap potensi bangsa yang ada melalui berbagai kegiatan dalam setiap sendi kehidupan masyarakat, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional.

Semoga sumbangan pemikiran tersebut dapat membantu proses integrasi budaya Papua kedalam kebudayaan Indonesia secara utuh dan menyeluruh.