Jumat, 25 April 2008

SEJARAH PEMUDA DAN MASYARAKAT PAPUA MENENTANG KOLONIALISME BELANDA

SEJARAH PEMUDA DAN MASYARAKAT PAPUA
MENENTANG KOLONIALISME BELANDA
Sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dibacakan tanggal 17 Agustus 1945, seluruh pemuda dan masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke mengumandangkan pekik “Merdeka” dan bangkit melawan penjajahan Belanda dan sisa-sisa tentara Jepang. Setelah Perang Dunia II, Belanda berusaha menguasai kembali wilayah di Nusantara dengan membentuk Pemerintahan Hindia Belanda (NICA) dan didukung oleh kekuatan angkatan perang, KNIL, serta dibantu oleh tentara sekutu.
Memasuki tahun 1946, pergolakan pemuda dan seluruh masyarakat Indonesia melawan tentara Belanda merata di seluruh wilayah Nusantara, yaitu dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sunda Kecil, Maluku dan Irian. Namun, pemerintah RI merasa tidak cukup memiliki tenaga dan sumber daya untuk memimpin dan mengkoordinasikan serta membela seluruh kekuatan pergerakan dan perlawanan di wilayah Nusantara, sehingga akhirnya Pemerintah RI memutuskan mempertahankan wilayah Proklamasi hanya sebatas daerah Sumatera dan Jawa saja.
Dengan adanya kebijakan politik dan strategi perang tersebut, otomatis perjuangan para pemuda dan masyarakat di wilayah Papua tidak terpantau dan tidak terkoordinasikan dengan Pemerintah RI di Jawa. Padahal pada tahun 1946 tersebut di Tanah Papua terjadi perlawanan yang cukup hebat terhadap kolonialisme dan upaya pendudukan kembali oleh Pemerintah dan Tentara Belanda. Perlawanan tersebut tercatat terjadi di dua kota, yaitu di Merauke dan Hollandia (Jayapura sekarang).
Pada tanggal 14 Maret 1946 di Merauke terjadi pertempuran hebat antara para pemuda Papua melawan tentara kolonial Belanda. Para pemuda Papua tersebut merupakan mantan Heiho yang telah dididik ilmu kemiliteran oleh Jepang dan telah mengetahui tentang kemerdekaan RI melalui berita radio yang disampaikan oleh Pemerintah RI. Rasa kebangsaan mereka timbul dan bertekad untuk melawan penjajahan serta merebut kemerdekaan yang selama ini diidam-idamkannya. Dengan berbekal rasa nasionalisme, semangat pantang menyerah, serta ditunjang oleh pengalaman kemiliteran, para pemuda Papua di Merauke melakukan perlawanan militer terhadap tentara kolonial Belanda yang berusaha kembali menjajah Tanah Papua. Pertempuran hebat pun berlangsung di kota Merauke dan sekitarnya serta membuat keadaan di kota Merauke cukup mencekam selama tiga hari. Meskipun hanya bersenjatakan seadanya, para pemuda Papua di Merauke berhasil membuat kesulitan pada tentara kolonial Belanda yang bersenjatakan lengkap. Akhirnya, tentara kolonial Belanda berhasil menggagalkan upaya dari para pemuda Papua, dan sebagian besar pemuda Papua tersebut gugur sebagai kusuma bangsa serta sebagian kecil lainnya hilang tak tentu rimbanya.
Perjuangan dan perlawanan para pemuda dan masyarakat Papua di Hollandia (Jayapura sekarang) tergolong lebih sistematis dan terencana. Pada akhir tahun 1945 terjadi pertempuran antara pejuang Papua yang rata-rata berasal dari Digul dengan tentara kolonial Belanda yang dipimpin oleh Sunggoro. Tentara kolonial Belanda berhasil mematahkan perlawanan pejuang Papua tersebut dan menangkap Sunggoro.
Walaupun Sunggoro sudah meringkuk dalam penjara Hollandia dan sebagian besar pejuang Digul serta teman-temannya memilih berjuang di daerah RI namun pergolakan rakyat Irian tidak terhenti. Sunggoro dengan S. Papare, Martin Indey dan lain-lainnya mempersiapkan perlawanan untuk yang kedua kalinya terhadap Belanda. Pimpinan umum tetap pada Sunggoro, sehingga markasnya berada di dalam penjara. Betapapun ketatnya penjagaan di penjara, pasukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda dapat juga dipersiapkan bahkan ada beberapa penjaga penjara yang turut serta dalam pasukan perlawanan tersebut.
Sebagai Panglima ditunjuk Penggoncang Alam, seorang pejuang asal Minangkabau, sedangkan Martin Indey berhasil mempengaruhi sebagian besar anggota “Batalyon Papua” yang dikepalai oleh Kapten de Bruin. Batalyon Papua tersebut adalah pasukan yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda di mana personelnya terdiri dari orang asli Papua dengan tujuan untuk dijadikan pasukan penggempur guna menyerang Pemerintah RI.
Rakyat Papua menghormati dan menjunjung tinggi pemimpin-pemimpin patriotik – nasionalis Indonesia berkat adanya sosialisasi dan upaya yang dilakukan oleh Martin Indey, Papare, Rumkoren, dan lain-lain. Lebih kurang tigaperempat dari jumlah anggota Polisi turut serta dalam pasukan perlawanan. Sekolah Polisi pun sudah mendukung perjuangan yang akan dilakukan pasukan perlawanan. Di kalangan tentara Belanda sendiri (KNIL) ada lebih kurang 30 orang pemuda Menado yang bersedia turut serta. Dengan teliti diaturlah persiapan untuk melucuti KNIL, menangkap pembesar-pembesar Pemerintah Belanda dan menduduki stasiun radio. Pimpinan umum, Sunggoro, sudah memutuskan akan melakukan perlawanan terhadap Belanda pada tanggal 17 Juli 1946. Peluru-peluru sudah dibagikan dan pemuka-pemuka adat Papua serta pemuka masyarakat sudah diberitahu.
Namun, Belanda berhasil mencium adanya persiapan perlawanan terhadap kekuasaannya dan dilakukanlah razia secara besar-besaran. Akibatnya, terjadilah insiden-insiden perlawanan oleh para pemuda dan masyarakat Papua dalam skala yang kecil dan terbatas. Rencana perlawanan dan insiden tersebut dapat dipatahkan oleh Belanda. Banyak pejuang yang ditangkap. Belanda bertindak pula terhadap “Batalyon Papua”, meskipun Batalyon tersebut sudah sangat berjasa terhadap Belanda maupun tentara sekutu dalam membebaskan Irian dari pendudukan Jepang. Tetapi kini mereka dianggap paling berbahaya oleh pemerintahan Belanda (NICA).
Selanjutnya Belanda melakukan pembersihan di dalam alat-alat kekuasaannya, yang terbukti memiliki orientasi untuk berjuang bagi kemerdekaan dan keutuhan wilayah RI. Hanya KNIL-lah yang saat itu menjadi tulang punggung kekuasaan Belanda di Tanah Papua. Pamongpraja dan Swapraja Irian pun terbukti tetap menyokong gerakan kemerdekaan Indonesia. S. Papare dianggap Belanda berbahaya bila berada di Hollandia. Oleh Residen van Eekhout ia kemudian dipindahkan ke Serui untuk berpraktek sebagai dokter. Pada saat yang hampir bersamaan, Belanda mengasingkan rombongan Gubernur Ratulangi ke Serui, dan kejadian ini meninggikan moril pejuang-pejuang Irian di daerah Serui karena memperoleh bantuan pemikiran dari tokoh-tokoh pejuang yang berpengaruh.
Betapapun Belanda sangat mengucilkan S. Papare dan Gubernur Ratulangi namun melalui Gereja maupun melalui para pemuda pejuang Papua maka dapat terbina hubungan antara Papare dkk dengan rombongan Gubernur Ratulangi, sehingga dapat diatur rencana dan petunjuk-petunjuk politik dalam perjuangan untuk meraih kemerdekaan dari Pemerintahan Belanda.


Sumber :
1. DR. A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, 1977.
2. Pramoedya Ananta Toer, Kronik Revolusi Indonesia, 1999.

SEJARAH PAPUA : DARI MASA KE MASA HINGGA DEKADE 60-AN

SEJARAH PAPUA :
DARI MASA KE MASA HINGGA DEKADE 60-AN
Daerah Papua sejak dahulu telah dikenal dengan berbagai nama. Orang-orang Hindu menamakan daerah ini Negara Ujung Lautan, daerah penghasil hasil bumi dan rempah-rempah. Pujangga Walmiki dalam buku Ramayana-nya menamakan daerah Papua “Gunung Sjisjira” yang puncaknya menyapu langit dan dikunjungi oleh Dewa dan Dewana.
Pada jaman Sriwijaya (abad VIII) daerah ini dikenal oleh Tiongkok karena utusan-utusan Maharaja Sriwijaya Sri Indrawarman dalam perlawatan-perlawatannya ke Tiongkok beberapa kali telah disertai oleh beberapa putrid dari daerah Janggi yang waktu itu merupakan suatu bagian dari Kerajaan Sriwijaya. Orang Tiongkok menyebut daerah ini sebagai Tungki dan merupakan bagian dari daerah Maluku (Tidore sekarang).
Kitab Negara Kertagama karangan Prapanca menyebutkan bahwa Negara Kerajaan Majapahit pada tahun 1364 meliputi daerah-daerah dari Sumatra dan sekitarnya terus ke timur sampai dengan Ewanin (Semenanjung Onin sekarang) untuk bagian utara Papua dan Seran (Kowiai sekarang) untuk bagian selatan Papua
Dalam peperangan memperebutkan daerah pengaruh antara Kesultanan-kesultanan Tidore dan Ternate yang sebenarnya mempunyai asal keturunan yang sama, maka didapatkan bahwa pengaruh Ternate meluas ke pulau-pulau Halmahera di sebelah barat terus sampai dengan kepulauan-kepulauan Sangir dan sebelah selatan Sulawesi. Sedang Tidore menguasai kepulauan-kepulauan sebelah timur Halmahera Selatan dan Seram Timur meliputi pulau-pulau Aru dan Kai. Ahirnya, awal abad XVI daerah-daerah Raja Ampat dengan daratan Papua Barat masuk dalam kekuasaan Tidore.
VOC Belanda masuk ke dalam daerah ini pertama-tama tahun 1606, tetapi karena kecewa atas penyambutan dari orang-orang pribumi yang liar, biadab, ganas dan memusuhinya serta dianggap tidak akan menguntungkan perdagangannya karena sifat-sifat daerahnya yang kasar, maka hampir 230 tahun lamanya Belanda tidak menghiraukan sama sekali daerah ini. Asal nama Nova Guinea ialah dari seorang Spanyol Inigo Ortiz de Retes yang bertolak dari Tidore (1545) ke Panama, yang menyebutkan bahwa ia melihat orang Afrika yang sering dijumpainya sewaktu ia melihat orang-orang Papua di Biak dan Padaido dalam perjalanannya melalui kepulauan-kepulauan ini. Daerah-daerah tersebut diproklamirkannya sebagai milik Mahkota Spanyol, dan kemudian beralih ke tangan Pemerintah Kerajaan Belanda akibat adanya perjanjian Utrecht (1714) antara Spanyol dengan Negeri Belanda.
Belanda terpaksa membangun suatu benteng tahun 1828 dengan nama Fort du Bois di Teluk Triton (Kaimana) untuk menyatakan kekuasaannya di daerah ini, karena adanya usaha-usaha Inggris yang sudah menyerobot masuk ke wilayah Papua. Usaha-usaha Inggris ini berhasil karena adanya kerjasama dengan Nuku salah seorang Sultan Tidore yang memberontak kepada Belanda (VOC) hingga wafatnya pada usia lanjut. Sultan Tidore yang lain, yang merupakan ciptaan Belanda memprotes Inggris atas kekuasaannya di daerah Papua dan Tidore, namun Inggris tidak menghiraukannya. Akhirnya, Inggris harus pergi dari daerah Papua dan Tidore karena kehabisan bahan makanan dan penyakit beri-beri yang waktu itu sangat ditakuti di daerah tersebut.
Tahun 1828 Belanda menyatakan bahwa West Nieuw Guinea dari 141°BT di pantai selatan, kemudian ke barat, barat laut, ke utara sampai Tj. Jamurseba sebagai daerah miliknya kecuali hak-hak dari Sultan Tidore yang ada di Papua. Regerings Almanak Belanda tiap tahun menyebutkan, wilayah Kerajaan Tidore meliputi dari Pulau Tidore ke timur (Halmahera) dikurangi daerah-daerah Ternate, pulau-pulau Waigeo dan Misool, daratan Papua sampai garis 141° 10’ 47” BT terus ke selatan memotong sungai Fly beserta pulau-pulau di sekitarnya dan pulau-pulau di Teluk Geelvink.
Tahun 1910 hak Tidore atas daerah pantai selatan dengan ibukota Merauke diambil alih dengan harga F.6000,- oleh Belanda, yang menjadikannya Zuid Nieuw Guinea suatu afdeling langsung di bawah pemerintahannya. Melalui beberapa kali perubahan, maka sebelum pendudukan Jepang daerah-daerah Tidore disebut-sebut sebagai Swapraja (Zelfbesturende landschappen) meliputi 8 onderafdeling dengan 50 distrik yang masih diakui oleh Belanda sebagai daerah kesultanan Tidore. Di daerah tersebut ada pemerintahan campuran di mana Belanda melakukan control melalui pejabat-pejabat Gubernemen Belanda yang ditempatkan di daerah tersebut.
Setelah Jepang menyerah, Papua dijadikan residensi Nieuw Guinea. Sejak Perundingan Denpasar (Desember 1946) Belanda menginginkan bahwa Nieuw Guinea harus memperoleh kedudukan yang tersendiri terhadap Kerajaan Belanda susunan baru dan Negara Indonesia Serikat, walaupun penduduk aslinya masih sukar dapat memperdengarkan kehendaknya, tapi dasar yang sebenarnya adalah maksud mengadakan tempat pemindahan orang-orang Belanda dalam jumlah yang lebih besar terutama bagi orang-orang Belanda di Indonesia yang ingin hidup dalam susunan kenegaraannya sendiri. Pada Februari 1947 Belanda masuk “South Pacific Commision” yang dibentuk di luar PBB oleh Australia, Perancis, Selandia Baru, Inggris dan Amerika yang berkedudukan di Noumea dengan alasan :
- Irian Barat belum berpemerintahan sendiri
- Penduduknya belum mempunyai peradaban
- Pertimbangan strategis dalam rangka pertahanan bangsa-bangsa demokratik di Pasifik

Tahun 1950 ditunjuk seorang Gubernur yang memerintah atas nama dan mewakili Mahkota Kerajaan Belanda dengan dibantu oleh Dewan Kepala-kepala jawatan pemerintah umum dalam menjalankan roda pemerintahan. Dibentuk pula Dewan Nieuw Guinea dengan anggota 21 orang terdiri dari 9 orang Belanda dan 2 orang underbouw Belanda (bukan orang Belanda) serta 10 orang Wakil orang asli Papua. Penetapan keanggotaan dilakukan dengan cara pilihan dan penunjukan dengan komposisi sebagai berikut :
- Belanda terdiri dari 2 orang dipilih dan 7 orang ditunjuk.
- Underbouw Belanda terdiri dari 1 orang dipilih dan 1 orang ditunjuk
- Orang asli Papua diganti dengan penunjukan orang-orang Belanda yang merupakan pegawai pamong praja, wakil zending/missi karena menurut anggapan Belanda penduduk pribumi masih terlalu rendah tarafnya sebagai wakil dalam menentukan jalannya pemerintahan.

Untuk lebih menyempurnakan susunan legislatif pada tahun 1951 telah dibentuk dewan penasehat untuk afdeling Irian Barat Utara, Selatan, Barat, masing-masing diketuai oleh Residen yang bersangkutan.
Pada tahun 1953 telah diadakan penyusunan pembagian administratif daerah dengan hasil pembentukan afdeling-afdeling sebagai berikut :

- Nieuw Guinea Utara
- Teluk Geelvink
- Nieuw Guinea Selatan
- Nieuw Guinea Tengah – masih diatur dari Teluk Geelvink
- Nieuw Guinea Barat.

Pada1957 ada pemikiran untuk mengikutsertakan penduduk asli dalam pemerintahan setempat dengan cara pemilihan bertingkat dengan fase pertama membentuk dewan kampung dan selanjutnya bertingkat kepada dewan daerah. Namun kenyataannya, pemilihannya melalui penunjukan oleh Pemerintah Belanda sebagai cara untuk memaksakan terbentuknya dewan-dewan boneka, buatan Belanda.
Pada tahun 1960 timbul gagasan dari Pemerintah Belanda dalam bentuk politik penentuan nasib sendiri (self determination) bagi Irian Barat dengan waktu pelaksanaan dalam waktu 10 sampai 15 tahun ke depan baru dapat dilakukan di bawah pengawasan PBB. Gagasan tersebut dilatarbelakangi oleh perkembangan politik di Irian Barat yang menunjukkan mulai timbulnya gerakan nasionalisme Indonesia ditambah kegiatan-kegiatan Pemerintah RI dalam forum-forum internasional terhadap klaimnya atas irian Barat. Kondisi tersebut memaksa Belanda untuk merubah sikapnya untuk menyetujui pembentukan partai/organisasi dalam rangka membendung gerakan nasionalisme Indonesia serta sewaktu-waktu dapat dipakai sebagai alat menghadapi Indonesia. Selanjutnya, segera diusahakan pembentukan ”Dewan Nieuw Guinea” oleh Pemerintah Belanda, di mana anggotanya dipilih oleh Pemerintah Belanda dan sebagian besar terdiri dari orang Belanda. Dewan Nieuw Guinea dilantik pada tanggal 5 April 1961 di Hollandia, beranggotakan 27 orang dan diketuai oleh orang Belanda yang diangkat juga sebagai Staf Gubernuran. Untuk memenuhi syarat-syarat demokrasi ala Belanda akan ditunjuk pula orang-orang yang akan memegang peranan sebagai ”oposisi”. Tugas Dewan Nieuw Guinea adalah :
- Mengemukakan kepentingan-kepentingan Nederlands Nieuw Guinea kepada Pemerintah Belanda di Irian Barat
- Untuk mendapatkan penjelasan terhadap sesuatu hal dapat mengundang Gubernur dalam sidang
- Memberikan nasehat kepada pemerintah tentang sesuatu rencana Undang-undang.

Semangat perjuangan pro RI dan gerakan-gerakan kemerdekaan RI di Tanah Papua diakui oleh Belanda telah lama ada di Tanah Papua. Beberapa fakta yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut :
1. Penuturan petugas Belanda yang telah kembali ke negerinya menyebutkan tentang kesibukan aparat keamanan dan tentara Belanda di Tanah Papua setiap menghadapi momen 17 Agustus, hari Natal dan Tahun Baru, yang ditujukan terhadap kegiatan anasir-anasir yang dituduh pro RI dengan gerakan-gerakan pengibaran Bendera Marah Putih, penyobekan bendera Belanda menjadi Merah Putih.
2. Terjadinya perlawanan bersenjata seperti di Wamena (lembah Baliem), Merauke dan Hollandia.
3. Timbulnya perkelahian yang disebabkan pro dan anti RI antara kelompok-kelompok atau perorangan.
4. Di beberapa daerah, seperti di Yapen/Serui dikenal sebagai tempat-tempat kelompok pro RI
5. Munculnya organisasi perjuangan untuk melepaskan diri dari penjajah Belanda di seluruh Tanah Papua, sekalipun dengan kegiatan-kegiatan yang tersembunyi.

Dalam menghadapi perkembangan situasi di PBB pada tahun 1961 maka Belanda melancarkan suatu strategi baru dengan cara menyampaikan gagasan untuk mempercepat penentuan nasib sendiri bagi rakyat Irian Barat yang diusulkan untuk dilaksanakan pada tahun 1961 itu juga. Oleh karena itu dibentuklah Komite Nasional Papua, Oktober 1961, dengan tidak melalui sidang Dewan Nieuw Guinea namun tetap memperoleh persetujuan dari Dewan tersebut. Anggota Komisi Nasional Papua terdiri dari anggota-anggota Dewan yang pro Belanda ditambah dengan anggota-anggota baru yang diseleksi oleh Pemerintah Belanda sejumlah 80 orang. Dengan rekayasa dari Pemerintah Belanda, Komite Nasional Papua menyampaikan manifestonya kepada Dewan Nieuw Guinea yagn berisi :

1. Penentuan Bendera Papua
2. Lagu Kebangsaan Papua
3. Mengganti nama West Nieuw Guinea menjadi Papua Barat
4. Nama bangsa ialah Papua
5. Mengusulkan Bendera Papua dikibarkan tanggal 1-11-1961.

Melalui rekayasa dan tekanan dari Pemerintah Belanda, Sidang Nieuw Guinea menyetujui manifesto Komite Nasional Papua, kecuali pengibaran Bendera Papua tanggal 1-11-1961 dan menunggu keputusan Negeri Belanda yang akhirnya menentukan pengibaran Bendera Papua dilakukan tanggal 1-12-1961.



Sumber :
1. DR. Ir. W.C. Klein, Nieuw Guinea 1954
2. Kementerian Dalam Negeri Belanda, Rapport Nederlands Nieuw Guinea 1960
3. Militaire Topographiesche Dienst, Verslag Militaire Exploratie van Nederlands Nieuw Guinea 1907 – 1915
4. Majalah Nieuw Guinea studien 1960
5. Majalah Nederlands Nieuw Guinea 1960
6. Majalah Tijdschrift Nieuw Guinea 1952 – 1954.

Lagi, SEJARAH PAPUA

Lagi,
SEJARAH PAPUA

Sumber :
Ikrar Nusa Bhakti
Doktor dari Griffith University Australia, Thesis :
Indonesia – Papua New Guinea Relations 1975 – 1987, from Conflict
to a Better Understanding
Kapan gagasan kemerdekaan Papua muncul ? Ceritanya cukup panjang. Papua adalah ”Tanah yang Dilupakan”, bahkan pada masa kolonial Belanda sekalipun. Baru pada tahun 1949 – 1961 pemerintah kolonial melakukan pembangunan politik di Tanah Papua, itu pun setelah Belanda kehilangan sebagian besar daerah jajahannya di Nusantara karena adanya Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Sejak tahun 1950, partai-partai politik pun dibolehkan berdiri oleh pemerintah kolonial Belanda, di antara partai-partai tersebut ada yang pro Belanda, ada yang pro Indonesia, ada pula yang pro kemerdekaan Papua.
Menjelang Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag tahun 1949, Belanda memang mengambil ancang-ancang untuk mempertahankan Papua. Di mata Menteri Wilayah Seberang Lautan Belanda H.J. van Maarseveen, Belanda membutuhkan tanah di Timur Jauh yang bisa dijadikan Tropical Holland untuk menampung orang-orang pro-Belanda yang mengalami kesulitan di Indonesia ; dan Papua bisa menjadi pangkalan AL Belanda (Richard Chauvel and Ikrar Busa Bhakti, Policy Studies 5, East-West Center, Washington, 2004).
Karena desakan internasional dan PBB agar pemerintah kolonial Belanda segera menyerahkan Irian Barat kepada Pemerintah RI maka pada bulan April 1961 Belanda membentuk Nieuw Guinea Raad (Dewan New Guinea) yang 22 dari 28 anggotanya adalah orang Papua ; ada yang diangkat, dipilih langsung, atau dipilih melalui perwakilan. Selanjutnya, pada tanggal 27 September 1961, Menteri Luar Negeri (Menlu) Belanda Joseph Luns melontarkan ”Rencana Luns” ke Majelis Umum PBB. Intinya, ada organisasi atau otoritas internasional yang mengambil alih Irian Barat dan mempersiapkan penduduknya untuk menentukan nasib sendiri saat kondisi stabil. Akhir dari Rencana Luns tersebut adalah janji untuk memberikan kemerdekaan kepada Papua pada tahun 1970. Usulan Luns tersebut tentu saja ditolak oleh Menlu Dr. Subandrio dengan alasan merusak kesatuan nasional dan integritas teritorial Indonesia.
Di tengah perseteruan dua Menlu itu, pemerintah kolonial Belanda mempengaruhi dan memfasilitasi beberapa elit Papua anggota New Guinea Raad, seperti Nicolaas Jouwe, P Torey, Markus Kaisiepo, Nicolaas Tanggahma, dan Eliezer Jan Bonay (kemudian menjadi Gubernur Irian Barat Pertama), untuk mengadakan pertemuan pada 19 Oktober 1961 serta mengundang 70 pemimpin Papua, 17 diantaranya diangkat sebagai anggota Komite Nasional. Kejadian tersebut yang kemudian diinterpretasikan oleh kelompok OPM saat ini sebagai Kongres Nasional Papua I.
Pertemuan ini menghasilkan manifesto politik, yaitu mulai 1 November 1961 : a. Bendera kami dikibarkan bersebelahan dengan Bendera Belanda ; b. Lagu kebangsaan kami, Hai Tanahku Papua, dinyanyikan bersama bersama dengan lagu Wilhelmus ; c. Nama tanah air kami adalah Papua Barat ; d. Nama rakyat Kami adalah Orang Papua. Kemudian, pada 1 Desember 1961 administrasi kolonial Belanda membolehkan penaikan bendera ”Bintang Kejora” dan pelantunan lagu Hai Tanahku Papua di Hollandia (Jayapura sekarang).
Dengan adanya kejadian tersebut menunjukkan kurang adanya itikad yang baik dari Pemerintah kolonial Belanda dalam menyelesaikan masalah Irian Barat sesuai dengan salah satu butir perjanjian dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Pemerintah RI dengan Kerajaan Belanda tahun 1949. Selanjutnya, tak heran jika Bung Karno mengumandangkan Trikora tanggal 19 Desember 1961, di mana pada butir pertamanya menyebutkan, ”Bubarkan Negara Boneka Papua buatan Belanda kolonial”.

Jumat, 18 April 2008

SEJARAH PEPERA

SEJARAH PEPERA
(disarikan dari berbagai sumber)

Proses perjalanan menuju Pepera melewati beberapa fase yang perlu dijelaskan dan dipahami oleh Kita bersama, untuk dapat membangun tanah Papua yang adil dan damai di masa mendatang.

1. Pada Masa Hindia Belanda

Sejak tahun 1828, Irian Barat merupakan wilayah jajahan Belanda, ditandai dengan dibangunnya Benteng Fort Du Bus di Teluk Triton. Pada masa Kolonial Belanda, Papua Barat merupakan bagian dari wilayah Hindia Belanda di bawah administrasi Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia. Karena itu sebagaimana pulau-pulau lain di Nusantara, menurut azas uti possidetis juris, maka Papua Barat otomatis beralih statusnya menjadi bagian wilayah Republik Indonesia sejak saat Proklamasi 17 Agustus 1945.
Dalam konteks Hindia Belanda hanya NKRI sebagai legal successor state di wilayah Nusantara, termasuk Papua/Irian. Dalam sejarahnya, memang Belanda telah mengingkari kemerdekaan Indonesia atau menolak mengakui proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 dengan berupaya kembali mendirikan Hindia Belanda setelah selesainya Perang Dunia II. Selanjutnya pemerintah Hindia Belanda berusaha memecah belah NKRI menjadi beberapa negara boneka termasuk salah satunya adalah wilayah Papua/Irian Barat. Terakhir melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, pemerintah Hindia Belanda menunda integrasi wilayah Papua/Irian Barat ke dalam NKRI hingga tahun 1953. Namun hasil KMB ini diingkari oleh Belanda yang selanjutnya diikuti dengan perkuatan administrasi dan kekuatan militernya di Papua/Irian Barat.
Oleh karena pengingkaran Pemerintah Hindia Belanda tersebut maka pada tahun 1954 Pemerintah RI mengajukan permasalahan ini kepada Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Atas dukungan penuh dari negara-negara peserta Konferensi Asia Afrika (KAA) maka pada bulan April 1955, PBB membuat Resolusi untuk mendorong Indonesia dan Belanda menyelesaikan masalah Irian Barat secara damai.
Hingga tahun 1961, Irian Barat masih dalam status quo dan tidak terlihat tanda-tanda itikad baik dari Pemerintah Hindia Belanda untuk menyelesaikan masalah Irian Barat. Akhirnya Pemerintah RI mengumandangkan TRIKORA. Akhirnya pada tahun 1962 terjadi pertempuran bersenjata yang dahsyat antara Indonesia dan Belanda di Pantai Barat Irian.
Situasi ini disikapi Sekjen PBB, U Thant dengan menunjuk Dubes AS Elsworth Bunker sebagai mediator untuk Indonesia dan Belanda. Pada tanggal 15 Agustus 1962, atas inisiatif Bunker, dicapai Agreement between Republic of Indonesia and the Kingdom of the Nederlands Convering West New Guinea (West Irian) atau dikenal dengan New York Agreement.
Janji Pemerintah Hindia Belanda untuk memberikan kemerdekaan kepada Papua/Irian Barat pada tahun 1963 merupakan bentuk propaganda politik yang sengaja diciptakan oleh Pemerintah Hindia Belanda karena semakin meningkatnya tuntutan dunia internasional, melalui PBB, agar Pemerintah Hindia Belanda mentaati hasil KMB tahun 1949 yang telah disepakati serta New York Agreement tanggal 15 Agustus 1962. Diharapkan dengan adanya janji kemerdekaan tersebut akan membuat terjadinya perpecahan di masyarakat Papua, yang memang sudah terindikasi oleh Pemerintah Hindia Belanda masyarakat Papua akan memilih untuk bergabung dengan NKRI.

2. New York Agreement sebagai Produk Internasional

Melalui berbagai perundingan termasuk upaya Sekjen PBB, akhirnya Belanda dan Indonesia menandatangani persetujuan New York pada tanggal 15 Agustus 1962 yang memuat road map penyelesaian sengketa atas Papua/Irian Barat yang intinya adalah bahwa administrasi Papua/Irian Barat diserahkan tidak langsung dari Belanda ke Indonesia, melainkan dari Belanda kepada UNTEA sebagai masa transisi, kemudian dari UNTEA kepada Indonesia.
Pertukaran instrumen ratifikasi Persetujuan New York dilakukan pada tanggal 20 September 1962 antara Indonesia dan Belanda tetapi pertukaran tersebut tidak menjadikannya otomatis berlaku karena adanya pihak ketiga yang terlibat yaitu PBB. Biasanya pertukaran instrumen ratifikasi dari satu agreement memastikan berlakunya agreement dimaksud. Persetujuan bilateral ini diterima oleh PBB melalui Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1752 dan dengan Resolusi tersebut, persetujuan berlaku terhitung mulai tanggal 21 September 1962, yaitu pada saat resolusi diterima.
Sesuai persetujuan New York pada tanggal 1 Oktober 1962, Wakil Gubernur H. Veldkamp menyerahkan kekuasaan kepada UNTEA atas Papua/Irian. Pada acara penyerahan ia mengatakan : “Mulai saat ini, akibat persetujuan internasional yang berhubungan dengan itu, maka tanah dan bangsa Nieuw Guenea Barat telah ditempatkan di bawah kepemerintahan yang baru : penguasa sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedaulatan Netherlands atas tanah ini telah berakhir. Tibalah suatu jangka waktu yang baru, jangka mana berlangsung sampai pada saat pertanggungjawaban atas pemerintahan diserahkan kepada Indonesia sepenuhnya”.
Ada dua hal yang perlu dicatat sehubungan dengan pernyataan tersebut. Pertama, kedaulatan Belanda berakhir atas Papua/Irian menurut azas uti possidetis juris atas seluruh wilayah Nusantara. Kedua, Belanda telah memperkirakan bahwa Pepera akan berujung kepada status Papua/Irian Barat akan tetap di tangan Indonesia. Dari saat ini sangat terasa nuansa bahwa persetujuan New York merupakan a face saving formula (formula politik untuk menyelamatkan muka) bagi Pemerintah Belanda.
Persetujuan New York tersebut sah menurut hukum internasional dan tidak bisa begitu saja dicabut apalagi oleh pihak ketiga yang tidak terlibat dalam persetujuan, karena sesuai dengan azas pacta sunt servanda seluruh road map yang digariskan dalam persetujuan, mengikat pihak-pihak yang terlibat dalam persetujuan.

3. The Act of Free Choice atau Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) sebagai Pelaksanaan dari New York Agreement

Pepera telah dilaksanakan sesuai kondisi dan tingkat perkembangan masyarakat Irian saat itu yang tidak memungkinkan dilakukan dengan cara one man one vote. Pada masa pelaksanaan Pepera adalah sulitnya medan dan keprimitifan penduduk asli Papua. Menerapkan kondisi sekarang sebagai ukuran dalam menilai keadaan waktu Pepera, jelas tidak adil dan merupakan upaya memutarbalikkan sejarah.
Pada tanggal 23 Agustus 1968, Fernando Ortiz Sanz tiba di Irian Barat dan memulai perjalanan 10 hari sejauh 3000 mil ke daerah-daerah di seluruh Papua, dengan menggunakan pesawat. Sekembalinya dari perjalanan tersebut, Fernando Ortiz Sanz menulis dalam suatu laporan untuk Sekretaris Umum PBB U Thant bahwa : “Pemerintah harus diberikan kredit atas kemajuan dalam pendidikan dasar, proses pembauran melalui pemakaian bahasa umum (Indonesia), pembangunan sekolah dan menunjukkan usaha-usaha pergaulan yang bersahabat”. Dia juga menambahkan : “Kita mengetahui bahwa prinsip ‘satu orang satu suara’ tidak dapat dilaksanakan di semua daerah Papua, karena kurangnya pengalaman luar dari penduduk. Kita juga mengakui bahwa Pemerintah Indonesia dimana memperlihatkan ketidakpastian tentang hasil-hasil musyawarah, akan mencoba, dengan semua maksud-maksud pembagian itu, mengurangi jumlah orang, perwakilan-perwakilan, dan lembaga-lembaga musyawarah”.
Sekarang yang menjadi persoalan dan sering diangkat dalam forum oleh penentang Pepera adalah mengapa hanya dua tahun sesudah Pepera, Pemerintah RI dapat menyelenggarakan Pemilu di seluruh Papua sebagai bagian dari Pemilu nasional Indonesia dengan cara one man one vote. Mungkinkah hanya dalam dua tahun penduduk Papua yang ‘primitif’ itu berubah menjadi modern, dan masalah sulitnya medan diselesaikan. Jawabnya adalah mungkin, karena hal itu memang telah dilakukan oleh Pemerintah RI, yang dengan segala potensi yang ada saat itu berusaha menunjukkan pada dunia bahwa RI dapat membawa masyarakat Irian Jaya menuju demokrasi melalui Pemilu.
Perlu dipahami juga bahwa dalam menjalankan demokrasi, one man one vote bukanlah satu-satunya cara, tetapi melalui sistem perwakilan demokrasi juga bisa dilaksanakan. Kenyataannya, hal ini terjadi dalam praktek demokrasi di dunia. Jadi janganlah mempersoalkan keabsahan Pepera karena hanya karena menggunakan sistem demokrasi perwakilan.
Proses pelaksanaan Pepera dilaksanakan dari tanggal 24 Juli hingga bulan Agustus 1969 dan berlangsung secara musyawarah. Pepera tersebut dilaksanakan di 8 Kabupaten yang ada pada saat itu, yaitu Merauke, Jayawijaya, Paniai, Fakfak, Sorong, Manokwari, Biak dan Jayapura. Pepera dilaksanakan oleh 1026 anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP) mewakili jumlah penduduk Papua yang berjumlah 809.327 jiwa. Ke-1026 anggota DMP tersebut terdiri atas 400 orang mewakili Unsur tradisional (Kepala Suku/Adat), 360 orang mewakili Unsur Daerah dan 266 orang mewakili Unsur Organisasi Politik/Organisasi Kemasyarakatan/Golongan.
Pelaksanaan Pepera ini berlangsung secara demokratis dan diawasi oleh masyarakat internasional, serta berlangsung sesuai praktek-praktek internasional, di bawah nasehat, bantuan serta partisipasi PBB. Petugas PBB yang mewakili Sekjen PBB adalah Dubes Bolivia Fernando Ortiz Sanz.
Hasil dari Pepera yang dilangsungkan di 8 Kabupaten Irian Barat (Papua), semuanya memilih dan menetapkan dengan suara bulat bahwa Irian Barat merupakan bagian mutlak dari Republik Indonesia. Hasil tersebut disepakati dan disetujui dengan membubuhkan tanda tangan semua yang hadir dalam rapat Pepera tersebut.
Tentang bulatnya suara tentu menyangkut bagaimana piawainya diplomat kita dan tim sukses Republik Indonesia mengajak dan mempengaruhi para peserta rapat Pepera. Namun semua keputusan diserahkan kepada seluruh peserta rapat Pepera dan sesuai dengan aspirasi masyarakat Irian Barat, keyakinan dan dorongan hati nuraninya maka para peserta rapat Pepera memilih untuk bergabung dengan NKRI. Ini menandai bahwa secara de facto masyarakat Irian Barat memilih untuk berintegrasi dengan NKRI. Lebih penting lagi bahwa pelaksanaan Pepera saat itu sejak awal telah diberitahukan kepada PBB serta Belanda, dan pelaksanaannya selalu diikuti dari dekat oleh Pejabat PBB yang bertugas mengawasi.

4. Resolusi PBB No. 2504 Sebagai Bentuk Pengakuan PBB atas Hasil PEPERA

Dalam Sidang Umum PBB, 19 November 1969, dilakukan pembahasan tentang pelaksanaan pekerjaan yang diberikan kepada Sekjen PBB tentang pelaksanaan PEPERA di Irian Barat. Berdasarkan hasil pembahasan tersebut selanjutnya 6 negara mengusulkan untuk mengeluarkan Resolusi 2504 atas pelaksanaan PEPERA di Irian Barat. Akhirnya, resolusi tersebut diterima oleh Majelis Umum PBB dengan imbangan suara 84 Setuju, tidak ada yang menentang dan 30 abstain. Dalam Resolusi 2504 tersebut disebutkan bahwa, “Takes note of the report of the Secretary General and acknowledges with appreciation the fulfillment by the Secretary General and his representative of the tasks entrusted to them under the agreement of 15 August 1962 between the Republis of Indonesia and The Kingdom of the Netherlands concerning West New Guinea (West Irian).
Dapat dipahami bahwa, pelaksanaan Pepera diterima oleh Sidang Majelis Umum PBB dengan catatan. Artinya bahwa masyarakat internasional menerima hasil Pepera yang memutuskan bergabungnya Irian Jaya dalam NKRI.
Pembatalan terhadap Resolusi PBB adalah tidak mungkin, karena apa yang dihasilkan sudah merupakan keputusan yang bersifat final. Resolusi PBB 2504 merupakan penegasan pengakuan PBB atas kedaulatan NKRI, termasuk Irian Jaya di dalamnya, dan karena itu setiap upaya untuk memisahkan daerah tersebut dari NKRI merupakan penentangan terhadap hukum internasional yang berlaku, termasuk terhadap Piagam PBB itu sendiri.
Dalam prinsip tata kehidupan internasional, tidak satupun Negara menyetujui gerakan separatisme. Dukungan dan persetujuan terhadap separatisme adalah bentuk pelanggaran terhadap prinsip dan tujuan PBB.
Oleh karena itu, segala macam upaya dan bentuk yang bertujuan hendak memisahkan Papua dari NKRI sesungguhnya adalah bentuk gerakan separatisme yang harus diluruskan. Selain itu, bila ada segelintir orang yang mengusulkan ide untuk jajak pendapat atau referendum ulang di wilayah Papua, maka ide tersebut sungguh sangat tidak berdasar dan jelas tidak mungkin dilakukan, karena secara de facto dan de jure pada tahun 1969 rakyat Irian Barat (Papua) telah melaksanakan jajak pendapat/referendum melalui PEPERA dan telah memilih serta menetapkan dengan suara bulat bahwa Irian Barat (Papua) merupakan bagian integral dari NKRI.

5. Tidak Mungkin Pembatalan Resolusi PBB No. 2504

Adalah mustahil untuk meminta Pepera dibatalkan oleh Majelis Umum PBB. Selama ini PBB belum mengenal judicial review terhadap Resolusi yang dikeluarkannya. Selain itu, PBB merupakan organisasi dimana anggotanya adalah negara, sehingga tidak mungkin sebuah gerakan (movement) atau Lembaga Swadaya Masyarakat meminta peninjauan kembali atas putusan atau resolusi yang dikeluarkan oleh PBB.
Resolusi Majelis Umum PBB mempunyai peran penting untuk menentukan berdiri tidaknya sebuah negara atau penggabungan wilayah pada suatu negara. Misalnya, pada tahun 1965 PBB mengeluarkan sebuah Resolusi yang menolak keabsahan secara hukum dari deklarasi sepihak atas kemerdekaan dari Rhodesia. Dalam Resolusi tersebut negara-negara anggota diminta untuk tidak mengakui proklamasi yang dilakukan oleh Rhodesia. Sebanding dengan kejadian di atas, Resolusi yang dikeluarkan oleh PBB untuk mengakui hasil Pepera harus dianggap sebagai dokumen yang menentukan bahwa act of free choice telah dilakukan dan hasil Pepera sudah diterima oleh hukum internasional melalui Resolusi PBB sehingga keberadaan Papua dalam NKRI adalah sesuatu yang sudah final.

6. Tuntutan Pendaftaran Permasalahan Papua ke Komisi Dekolonisasi PBB adalah Tidak Mungkin dan mengingkari Azas Dekolonisasi Internasional

Papua merupakan bagian integral dari wilayah kedaulatan Republik Indonesia sejak tanggal 17 Agustus 1945. Hal ini merupakan konsekwensi logis dari azas uti possidetis juris (batas wilayah negara bekas jajahan yang kemudian merdeka, mengikuti batas wilayah sebelum negara tersebut merdeka) dalam hukum internasional, yang telah diakui dan dipraktekkan oleh berbagai negara.
Di samping azas uti possidetis juris tersebut, dalam menghadapi Belanda (dulu) dan separatis sekarang ini, perlu dipahami azas-azas lain yang mendasari dekolonisasi atau memerdekakan daerah-daerah jajahan, seperti :
a. Azas dekolonisasi dilakukan sekali dan berlaku selamanya. Artinya sebuah negara yang sudah merdeka dari penjajahan tidak lagi memerlukan proses dekolonisasi. Dalam proses konteks Indonesia sebagai legal successor state bagi Hindia Belanda, Indonesia tidak bisa lagi mengalami proses dekolonisasi atau dipecah-pecah atau sebagian wilayahnya dipisahkan menjadi negara tersendiri atau dijadikan kembali menjadi daerah jajahan/koloni.
b. Selain itu, Azas dekolonisasi berlaku selamanya. Hal tersebut penting untuk kepastian hukum yang diperlukan oleh setiap masyarakat termasuk masyarakat internasional dalam membangun dan memelihara serta melestarikan perdamaian dan keamanan internasional.

Proses dekolonisasi dilakukan secara utuh dalam pengertian bahwa di atas sebuah daerah jajahan hanya didirikan sebuah negara berdaulat sebagai successor state, tidak dua atau lebih. Dengan demikian maka tuntutan OPM untuk pembentukan dan pendaftaran permasalahan Papua ke Komisi Dekolonisasi PBB adalah sungguh sangat tidak relevan lagi.

Jumat, 11 April 2008

SUARA HATI PAPUA

SUARA HATI PAPUA

konflik adalah makanan Kami di sini
tetapi apa muara dari semua ini ???

KESERAKAHAN
PEREBUTAN KEKUASAAN
PERLOMBAAN MENCARI KEKAYAAN MATERI

SUARA HATI masyarakat PAPUA hilang bagaikan diterpa angin topan
ditengah pusaran gelombang politik dan kepentingan elit yang tidak kenal KASIH
suara hati Kami tidak ada lagi dan menjadi tidak bermakna bagi Mereka.

DIMANA ITU KEBENARAN, semuanya penuh tipu muslihat
DIMANA ITU KETENTRAMAN DAN KEDAMAIAN, semua itu hanya menjadi impian semu
DIMANA ITU KESEJAHTERAAN, itu hanya jadi slogan elit politik

PEMDA, MRP, DPRP semuanya adalah tipu-tipu
KORUPTOR dan PEMAKAN UANG RAKYAT
UCAPANNYA TIDAK LAGI DAPAT DIPERCAYA !!!
PEMBUAT RIBUT dan TIDAK MEMIKIRKAN RAKYAT !!!
UANG ADALAH SEGALANYA
BILA ADA UANG mereka diam
BILA TIDAK ADA UANG mereka buat-buat Kerusuhan dan Isu-isu murahan.

ELIT POLITIK PAPUA SUDAH BUKAN LAGI REFLEKSI SUARA HATI PAPUA............