SEJARAH PEMUDA DAN MASYARAKAT PAPUA
MENENTANG KOLONIALISME BELANDA
MENENTANG KOLONIALISME BELANDA
Sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dibacakan tanggal 17 Agustus 1945, seluruh pemuda dan masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke mengumandangkan pekik “Merdeka” dan bangkit melawan penjajahan Belanda dan sisa-sisa tentara Jepang. Setelah Perang Dunia II, Belanda berusaha menguasai kembali wilayah di Nusantara dengan membentuk Pemerintahan Hindia Belanda (NICA) dan didukung oleh kekuatan angkatan perang, KNIL, serta dibantu oleh tentara sekutu.
Memasuki tahun 1946, pergolakan pemuda dan seluruh masyarakat Indonesia melawan tentara Belanda merata di seluruh wilayah Nusantara, yaitu dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sunda Kecil, Maluku dan Irian. Namun, pemerintah RI merasa tidak cukup memiliki tenaga dan sumber daya untuk memimpin dan mengkoordinasikan serta membela seluruh kekuatan pergerakan dan perlawanan di wilayah Nusantara, sehingga akhirnya Pemerintah RI memutuskan mempertahankan wilayah Proklamasi hanya sebatas daerah Sumatera dan Jawa saja.
Dengan adanya kebijakan politik dan strategi perang tersebut, otomatis perjuangan para pemuda dan masyarakat di wilayah Papua tidak terpantau dan tidak terkoordinasikan dengan Pemerintah RI di Jawa. Padahal pada tahun 1946 tersebut di Tanah Papua terjadi perlawanan yang cukup hebat terhadap kolonialisme dan upaya pendudukan kembali oleh Pemerintah dan Tentara Belanda. Perlawanan tersebut tercatat terjadi di dua kota, yaitu di Merauke dan Hollandia (Jayapura sekarang).
Pada tanggal 14 Maret 1946 di Merauke terjadi pertempuran hebat antara para pemuda Papua melawan tentara kolonial Belanda. Para pemuda Papua tersebut merupakan mantan Heiho yang telah dididik ilmu kemiliteran oleh Jepang dan telah mengetahui tentang kemerdekaan RI melalui berita radio yang disampaikan oleh Pemerintah RI. Rasa kebangsaan mereka timbul dan bertekad untuk melawan penjajahan serta merebut kemerdekaan yang selama ini diidam-idamkannya. Dengan berbekal rasa nasionalisme, semangat pantang menyerah, serta ditunjang oleh pengalaman kemiliteran, para pemuda Papua di Merauke melakukan perlawanan militer terhadap tentara kolonial Belanda yang berusaha kembali menjajah Tanah Papua. Pertempuran hebat pun berlangsung di kota Merauke dan sekitarnya serta membuat keadaan di kota Merauke cukup mencekam selama tiga hari. Meskipun hanya bersenjatakan seadanya, para pemuda Papua di Merauke berhasil membuat kesulitan pada tentara kolonial Belanda yang bersenjatakan lengkap. Akhirnya, tentara kolonial Belanda berhasil menggagalkan upaya dari para pemuda Papua, dan sebagian besar pemuda Papua tersebut gugur sebagai kusuma bangsa serta sebagian kecil lainnya hilang tak tentu rimbanya.
Perjuangan dan perlawanan para pemuda dan masyarakat Papua di Hollandia (Jayapura sekarang) tergolong lebih sistematis dan terencana. Pada akhir tahun 1945 terjadi pertempuran antara pejuang Papua yang rata-rata berasal dari Digul dengan tentara kolonial Belanda yang dipimpin oleh Sunggoro. Tentara kolonial Belanda berhasil mematahkan perlawanan pejuang Papua tersebut dan menangkap Sunggoro.
Walaupun Sunggoro sudah meringkuk dalam penjara Hollandia dan sebagian besar pejuang Digul serta teman-temannya memilih berjuang di daerah RI namun pergolakan rakyat Irian tidak terhenti. Sunggoro dengan S. Papare, Martin Indey dan lain-lainnya mempersiapkan perlawanan untuk yang kedua kalinya terhadap Belanda. Pimpinan umum tetap pada Sunggoro, sehingga markasnya berada di dalam penjara. Betapapun ketatnya penjagaan di penjara, pasukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda dapat juga dipersiapkan bahkan ada beberapa penjaga penjara yang turut serta dalam pasukan perlawanan tersebut.
Sebagai Panglima ditunjuk Penggoncang Alam, seorang pejuang asal Minangkabau, sedangkan Martin Indey berhasil mempengaruhi sebagian besar anggota “Batalyon Papua” yang dikepalai oleh Kapten de Bruin. Batalyon Papua tersebut adalah pasukan yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda di mana personelnya terdiri dari orang asli Papua dengan tujuan untuk dijadikan pasukan penggempur guna menyerang Pemerintah RI.
Rakyat Papua menghormati dan menjunjung tinggi pemimpin-pemimpin patriotik – nasionalis Indonesia berkat adanya sosialisasi dan upaya yang dilakukan oleh Martin Indey, Papare, Rumkoren, dan lain-lain. Lebih kurang tigaperempat dari jumlah anggota Polisi turut serta dalam pasukan perlawanan. Sekolah Polisi pun sudah mendukung perjuangan yang akan dilakukan pasukan perlawanan. Di kalangan tentara Belanda sendiri (KNIL) ada lebih kurang 30 orang pemuda Menado yang bersedia turut serta. Dengan teliti diaturlah persiapan untuk melucuti KNIL, menangkap pembesar-pembesar Pemerintah Belanda dan menduduki stasiun radio. Pimpinan umum, Sunggoro, sudah memutuskan akan melakukan perlawanan terhadap Belanda pada tanggal 17 Juli 1946. Peluru-peluru sudah dibagikan dan pemuka-pemuka adat Papua serta pemuka masyarakat sudah diberitahu.
Namun, Belanda berhasil mencium adanya persiapan perlawanan terhadap kekuasaannya dan dilakukanlah razia secara besar-besaran. Akibatnya, terjadilah insiden-insiden perlawanan oleh para pemuda dan masyarakat Papua dalam skala yang kecil dan terbatas. Rencana perlawanan dan insiden tersebut dapat dipatahkan oleh Belanda. Banyak pejuang yang ditangkap. Belanda bertindak pula terhadap “Batalyon Papua”, meskipun Batalyon tersebut sudah sangat berjasa terhadap Belanda maupun tentara sekutu dalam membebaskan Irian dari pendudukan Jepang. Tetapi kini mereka dianggap paling berbahaya oleh pemerintahan Belanda (NICA).
Selanjutnya Belanda melakukan pembersihan di dalam alat-alat kekuasaannya, yang terbukti memiliki orientasi untuk berjuang bagi kemerdekaan dan keutuhan wilayah RI. Hanya KNIL-lah yang saat itu menjadi tulang punggung kekuasaan Belanda di Tanah Papua. Pamongpraja dan Swapraja Irian pun terbukti tetap menyokong gerakan kemerdekaan Indonesia. S. Papare dianggap Belanda berbahaya bila berada di Hollandia. Oleh Residen van Eekhout ia kemudian dipindahkan ke Serui untuk berpraktek sebagai dokter. Pada saat yang hampir bersamaan, Belanda mengasingkan rombongan Gubernur Ratulangi ke Serui, dan kejadian ini meninggikan moril pejuang-pejuang Irian di daerah Serui karena memperoleh bantuan pemikiran dari tokoh-tokoh pejuang yang berpengaruh.
Betapapun Belanda sangat mengucilkan S. Papare dan Gubernur Ratulangi namun melalui Gereja maupun melalui para pemuda pejuang Papua maka dapat terbina hubungan antara Papare dkk dengan rombongan Gubernur Ratulangi, sehingga dapat diatur rencana dan petunjuk-petunjuk politik dalam perjuangan untuk meraih kemerdekaan dari Pemerintahan Belanda.
Sumber :
1. DR. A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, 1977.
2. Pramoedya Ananta Toer, Kronik Revolusi Indonesia, 1999.
Memasuki tahun 1946, pergolakan pemuda dan seluruh masyarakat Indonesia melawan tentara Belanda merata di seluruh wilayah Nusantara, yaitu dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sunda Kecil, Maluku dan Irian. Namun, pemerintah RI merasa tidak cukup memiliki tenaga dan sumber daya untuk memimpin dan mengkoordinasikan serta membela seluruh kekuatan pergerakan dan perlawanan di wilayah Nusantara, sehingga akhirnya Pemerintah RI memutuskan mempertahankan wilayah Proklamasi hanya sebatas daerah Sumatera dan Jawa saja.
Dengan adanya kebijakan politik dan strategi perang tersebut, otomatis perjuangan para pemuda dan masyarakat di wilayah Papua tidak terpantau dan tidak terkoordinasikan dengan Pemerintah RI di Jawa. Padahal pada tahun 1946 tersebut di Tanah Papua terjadi perlawanan yang cukup hebat terhadap kolonialisme dan upaya pendudukan kembali oleh Pemerintah dan Tentara Belanda. Perlawanan tersebut tercatat terjadi di dua kota, yaitu di Merauke dan Hollandia (Jayapura sekarang).
Pada tanggal 14 Maret 1946 di Merauke terjadi pertempuran hebat antara para pemuda Papua melawan tentara kolonial Belanda. Para pemuda Papua tersebut merupakan mantan Heiho yang telah dididik ilmu kemiliteran oleh Jepang dan telah mengetahui tentang kemerdekaan RI melalui berita radio yang disampaikan oleh Pemerintah RI. Rasa kebangsaan mereka timbul dan bertekad untuk melawan penjajahan serta merebut kemerdekaan yang selama ini diidam-idamkannya. Dengan berbekal rasa nasionalisme, semangat pantang menyerah, serta ditunjang oleh pengalaman kemiliteran, para pemuda Papua di Merauke melakukan perlawanan militer terhadap tentara kolonial Belanda yang berusaha kembali menjajah Tanah Papua. Pertempuran hebat pun berlangsung di kota Merauke dan sekitarnya serta membuat keadaan di kota Merauke cukup mencekam selama tiga hari. Meskipun hanya bersenjatakan seadanya, para pemuda Papua di Merauke berhasil membuat kesulitan pada tentara kolonial Belanda yang bersenjatakan lengkap. Akhirnya, tentara kolonial Belanda berhasil menggagalkan upaya dari para pemuda Papua, dan sebagian besar pemuda Papua tersebut gugur sebagai kusuma bangsa serta sebagian kecil lainnya hilang tak tentu rimbanya.
Perjuangan dan perlawanan para pemuda dan masyarakat Papua di Hollandia (Jayapura sekarang) tergolong lebih sistematis dan terencana. Pada akhir tahun 1945 terjadi pertempuran antara pejuang Papua yang rata-rata berasal dari Digul dengan tentara kolonial Belanda yang dipimpin oleh Sunggoro. Tentara kolonial Belanda berhasil mematahkan perlawanan pejuang Papua tersebut dan menangkap Sunggoro.
Walaupun Sunggoro sudah meringkuk dalam penjara Hollandia dan sebagian besar pejuang Digul serta teman-temannya memilih berjuang di daerah RI namun pergolakan rakyat Irian tidak terhenti. Sunggoro dengan S. Papare, Martin Indey dan lain-lainnya mempersiapkan perlawanan untuk yang kedua kalinya terhadap Belanda. Pimpinan umum tetap pada Sunggoro, sehingga markasnya berada di dalam penjara. Betapapun ketatnya penjagaan di penjara, pasukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda dapat juga dipersiapkan bahkan ada beberapa penjaga penjara yang turut serta dalam pasukan perlawanan tersebut.
Sebagai Panglima ditunjuk Penggoncang Alam, seorang pejuang asal Minangkabau, sedangkan Martin Indey berhasil mempengaruhi sebagian besar anggota “Batalyon Papua” yang dikepalai oleh Kapten de Bruin. Batalyon Papua tersebut adalah pasukan yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda di mana personelnya terdiri dari orang asli Papua dengan tujuan untuk dijadikan pasukan penggempur guna menyerang Pemerintah RI.
Rakyat Papua menghormati dan menjunjung tinggi pemimpin-pemimpin patriotik – nasionalis Indonesia berkat adanya sosialisasi dan upaya yang dilakukan oleh Martin Indey, Papare, Rumkoren, dan lain-lain. Lebih kurang tigaperempat dari jumlah anggota Polisi turut serta dalam pasukan perlawanan. Sekolah Polisi pun sudah mendukung perjuangan yang akan dilakukan pasukan perlawanan. Di kalangan tentara Belanda sendiri (KNIL) ada lebih kurang 30 orang pemuda Menado yang bersedia turut serta. Dengan teliti diaturlah persiapan untuk melucuti KNIL, menangkap pembesar-pembesar Pemerintah Belanda dan menduduki stasiun radio. Pimpinan umum, Sunggoro, sudah memutuskan akan melakukan perlawanan terhadap Belanda pada tanggal 17 Juli 1946. Peluru-peluru sudah dibagikan dan pemuka-pemuka adat Papua serta pemuka masyarakat sudah diberitahu.
Namun, Belanda berhasil mencium adanya persiapan perlawanan terhadap kekuasaannya dan dilakukanlah razia secara besar-besaran. Akibatnya, terjadilah insiden-insiden perlawanan oleh para pemuda dan masyarakat Papua dalam skala yang kecil dan terbatas. Rencana perlawanan dan insiden tersebut dapat dipatahkan oleh Belanda. Banyak pejuang yang ditangkap. Belanda bertindak pula terhadap “Batalyon Papua”, meskipun Batalyon tersebut sudah sangat berjasa terhadap Belanda maupun tentara sekutu dalam membebaskan Irian dari pendudukan Jepang. Tetapi kini mereka dianggap paling berbahaya oleh pemerintahan Belanda (NICA).
Selanjutnya Belanda melakukan pembersihan di dalam alat-alat kekuasaannya, yang terbukti memiliki orientasi untuk berjuang bagi kemerdekaan dan keutuhan wilayah RI. Hanya KNIL-lah yang saat itu menjadi tulang punggung kekuasaan Belanda di Tanah Papua. Pamongpraja dan Swapraja Irian pun terbukti tetap menyokong gerakan kemerdekaan Indonesia. S. Papare dianggap Belanda berbahaya bila berada di Hollandia. Oleh Residen van Eekhout ia kemudian dipindahkan ke Serui untuk berpraktek sebagai dokter. Pada saat yang hampir bersamaan, Belanda mengasingkan rombongan Gubernur Ratulangi ke Serui, dan kejadian ini meninggikan moril pejuang-pejuang Irian di daerah Serui karena memperoleh bantuan pemikiran dari tokoh-tokoh pejuang yang berpengaruh.
Betapapun Belanda sangat mengucilkan S. Papare dan Gubernur Ratulangi namun melalui Gereja maupun melalui para pemuda pejuang Papua maka dapat terbina hubungan antara Papare dkk dengan rombongan Gubernur Ratulangi, sehingga dapat diatur rencana dan petunjuk-petunjuk politik dalam perjuangan untuk meraih kemerdekaan dari Pemerintahan Belanda.
Sumber :
1. DR. A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, 1977.
2. Pramoedya Ananta Toer, Kronik Revolusi Indonesia, 1999.