Lagi,
SEJARAH PAPUA
Sumber :
Ikrar Nusa Bhakti
Doktor dari Griffith University Australia, Thesis :
Indonesia – Papua New Guinea Relations 1975 – 1987, from Conflict
to a Better Understanding
SEJARAH PAPUA
Sumber :
Ikrar Nusa Bhakti
Doktor dari Griffith University Australia, Thesis :
Indonesia – Papua New Guinea Relations 1975 – 1987, from Conflict
to a Better Understanding
Kapan gagasan kemerdekaan Papua muncul ? Ceritanya cukup panjang. Papua adalah ”Tanah yang Dilupakan”, bahkan pada masa kolonial Belanda sekalipun. Baru pada tahun 1949 – 1961 pemerintah kolonial melakukan pembangunan politik di Tanah Papua, itu pun setelah Belanda kehilangan sebagian besar daerah jajahannya di Nusantara karena adanya Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Sejak tahun 1950, partai-partai politik pun dibolehkan berdiri oleh pemerintah kolonial Belanda, di antara partai-partai tersebut ada yang pro Belanda, ada yang pro Indonesia, ada pula yang pro kemerdekaan Papua.
Menjelang Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag tahun 1949, Belanda memang mengambil ancang-ancang untuk mempertahankan Papua. Di mata Menteri Wilayah Seberang Lautan Belanda H.J. van Maarseveen, Belanda membutuhkan tanah di Timur Jauh yang bisa dijadikan Tropical Holland untuk menampung orang-orang pro-Belanda yang mengalami kesulitan di Indonesia ; dan Papua bisa menjadi pangkalan AL Belanda (Richard Chauvel and Ikrar Busa Bhakti, Policy Studies 5, East-West Center, Washington, 2004).
Karena desakan internasional dan PBB agar pemerintah kolonial Belanda segera menyerahkan Irian Barat kepada Pemerintah RI maka pada bulan April 1961 Belanda membentuk Nieuw Guinea Raad (Dewan New Guinea) yang 22 dari 28 anggotanya adalah orang Papua ; ada yang diangkat, dipilih langsung, atau dipilih melalui perwakilan. Selanjutnya, pada tanggal 27 September 1961, Menteri Luar Negeri (Menlu) Belanda Joseph Luns melontarkan ”Rencana Luns” ke Majelis Umum PBB. Intinya, ada organisasi atau otoritas internasional yang mengambil alih Irian Barat dan mempersiapkan penduduknya untuk menentukan nasib sendiri saat kondisi stabil. Akhir dari Rencana Luns tersebut adalah janji untuk memberikan kemerdekaan kepada Papua pada tahun 1970. Usulan Luns tersebut tentu saja ditolak oleh Menlu Dr. Subandrio dengan alasan merusak kesatuan nasional dan integritas teritorial Indonesia.
Di tengah perseteruan dua Menlu itu, pemerintah kolonial Belanda mempengaruhi dan memfasilitasi beberapa elit Papua anggota New Guinea Raad, seperti Nicolaas Jouwe, P Torey, Markus Kaisiepo, Nicolaas Tanggahma, dan Eliezer Jan Bonay (kemudian menjadi Gubernur Irian Barat Pertama), untuk mengadakan pertemuan pada 19 Oktober 1961 serta mengundang 70 pemimpin Papua, 17 diantaranya diangkat sebagai anggota Komite Nasional. Kejadian tersebut yang kemudian diinterpretasikan oleh kelompok OPM saat ini sebagai Kongres Nasional Papua I.
Pertemuan ini menghasilkan manifesto politik, yaitu mulai 1 November 1961 : a. Bendera kami dikibarkan bersebelahan dengan Bendera Belanda ; b. Lagu kebangsaan kami, Hai Tanahku Papua, dinyanyikan bersama bersama dengan lagu Wilhelmus ; c. Nama tanah air kami adalah Papua Barat ; d. Nama rakyat Kami adalah Orang Papua. Kemudian, pada 1 Desember 1961 administrasi kolonial Belanda membolehkan penaikan bendera ”Bintang Kejora” dan pelantunan lagu Hai Tanahku Papua di Hollandia (Jayapura sekarang).
Dengan adanya kejadian tersebut menunjukkan kurang adanya itikad yang baik dari Pemerintah kolonial Belanda dalam menyelesaikan masalah Irian Barat sesuai dengan salah satu butir perjanjian dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Pemerintah RI dengan Kerajaan Belanda tahun 1949. Selanjutnya, tak heran jika Bung Karno mengumandangkan Trikora tanggal 19 Desember 1961, di mana pada butir pertamanya menyebutkan, ”Bubarkan Negara Boneka Papua buatan Belanda kolonial”.
Menjelang Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag tahun 1949, Belanda memang mengambil ancang-ancang untuk mempertahankan Papua. Di mata Menteri Wilayah Seberang Lautan Belanda H.J. van Maarseveen, Belanda membutuhkan tanah di Timur Jauh yang bisa dijadikan Tropical Holland untuk menampung orang-orang pro-Belanda yang mengalami kesulitan di Indonesia ; dan Papua bisa menjadi pangkalan AL Belanda (Richard Chauvel and Ikrar Busa Bhakti, Policy Studies 5, East-West Center, Washington, 2004).
Karena desakan internasional dan PBB agar pemerintah kolonial Belanda segera menyerahkan Irian Barat kepada Pemerintah RI maka pada bulan April 1961 Belanda membentuk Nieuw Guinea Raad (Dewan New Guinea) yang 22 dari 28 anggotanya adalah orang Papua ; ada yang diangkat, dipilih langsung, atau dipilih melalui perwakilan. Selanjutnya, pada tanggal 27 September 1961, Menteri Luar Negeri (Menlu) Belanda Joseph Luns melontarkan ”Rencana Luns” ke Majelis Umum PBB. Intinya, ada organisasi atau otoritas internasional yang mengambil alih Irian Barat dan mempersiapkan penduduknya untuk menentukan nasib sendiri saat kondisi stabil. Akhir dari Rencana Luns tersebut adalah janji untuk memberikan kemerdekaan kepada Papua pada tahun 1970. Usulan Luns tersebut tentu saja ditolak oleh Menlu Dr. Subandrio dengan alasan merusak kesatuan nasional dan integritas teritorial Indonesia.
Di tengah perseteruan dua Menlu itu, pemerintah kolonial Belanda mempengaruhi dan memfasilitasi beberapa elit Papua anggota New Guinea Raad, seperti Nicolaas Jouwe, P Torey, Markus Kaisiepo, Nicolaas Tanggahma, dan Eliezer Jan Bonay (kemudian menjadi Gubernur Irian Barat Pertama), untuk mengadakan pertemuan pada 19 Oktober 1961 serta mengundang 70 pemimpin Papua, 17 diantaranya diangkat sebagai anggota Komite Nasional. Kejadian tersebut yang kemudian diinterpretasikan oleh kelompok OPM saat ini sebagai Kongres Nasional Papua I.
Pertemuan ini menghasilkan manifesto politik, yaitu mulai 1 November 1961 : a. Bendera kami dikibarkan bersebelahan dengan Bendera Belanda ; b. Lagu kebangsaan kami, Hai Tanahku Papua, dinyanyikan bersama bersama dengan lagu Wilhelmus ; c. Nama tanah air kami adalah Papua Barat ; d. Nama rakyat Kami adalah Orang Papua. Kemudian, pada 1 Desember 1961 administrasi kolonial Belanda membolehkan penaikan bendera ”Bintang Kejora” dan pelantunan lagu Hai Tanahku Papua di Hollandia (Jayapura sekarang).
Dengan adanya kejadian tersebut menunjukkan kurang adanya itikad yang baik dari Pemerintah kolonial Belanda dalam menyelesaikan masalah Irian Barat sesuai dengan salah satu butir perjanjian dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Pemerintah RI dengan Kerajaan Belanda tahun 1949. Selanjutnya, tak heran jika Bung Karno mengumandangkan Trikora tanggal 19 Desember 1961, di mana pada butir pertamanya menyebutkan, ”Bubarkan Negara Boneka Papua buatan Belanda kolonial”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar