Jumat, 18 April 2008

SEJARAH PEPERA

SEJARAH PEPERA
(disarikan dari berbagai sumber)

Proses perjalanan menuju Pepera melewati beberapa fase yang perlu dijelaskan dan dipahami oleh Kita bersama, untuk dapat membangun tanah Papua yang adil dan damai di masa mendatang.

1. Pada Masa Hindia Belanda

Sejak tahun 1828, Irian Barat merupakan wilayah jajahan Belanda, ditandai dengan dibangunnya Benteng Fort Du Bus di Teluk Triton. Pada masa Kolonial Belanda, Papua Barat merupakan bagian dari wilayah Hindia Belanda di bawah administrasi Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia. Karena itu sebagaimana pulau-pulau lain di Nusantara, menurut azas uti possidetis juris, maka Papua Barat otomatis beralih statusnya menjadi bagian wilayah Republik Indonesia sejak saat Proklamasi 17 Agustus 1945.
Dalam konteks Hindia Belanda hanya NKRI sebagai legal successor state di wilayah Nusantara, termasuk Papua/Irian. Dalam sejarahnya, memang Belanda telah mengingkari kemerdekaan Indonesia atau menolak mengakui proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 dengan berupaya kembali mendirikan Hindia Belanda setelah selesainya Perang Dunia II. Selanjutnya pemerintah Hindia Belanda berusaha memecah belah NKRI menjadi beberapa negara boneka termasuk salah satunya adalah wilayah Papua/Irian Barat. Terakhir melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, pemerintah Hindia Belanda menunda integrasi wilayah Papua/Irian Barat ke dalam NKRI hingga tahun 1953. Namun hasil KMB ini diingkari oleh Belanda yang selanjutnya diikuti dengan perkuatan administrasi dan kekuatan militernya di Papua/Irian Barat.
Oleh karena pengingkaran Pemerintah Hindia Belanda tersebut maka pada tahun 1954 Pemerintah RI mengajukan permasalahan ini kepada Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Atas dukungan penuh dari negara-negara peserta Konferensi Asia Afrika (KAA) maka pada bulan April 1955, PBB membuat Resolusi untuk mendorong Indonesia dan Belanda menyelesaikan masalah Irian Barat secara damai.
Hingga tahun 1961, Irian Barat masih dalam status quo dan tidak terlihat tanda-tanda itikad baik dari Pemerintah Hindia Belanda untuk menyelesaikan masalah Irian Barat. Akhirnya Pemerintah RI mengumandangkan TRIKORA. Akhirnya pada tahun 1962 terjadi pertempuran bersenjata yang dahsyat antara Indonesia dan Belanda di Pantai Barat Irian.
Situasi ini disikapi Sekjen PBB, U Thant dengan menunjuk Dubes AS Elsworth Bunker sebagai mediator untuk Indonesia dan Belanda. Pada tanggal 15 Agustus 1962, atas inisiatif Bunker, dicapai Agreement between Republic of Indonesia and the Kingdom of the Nederlands Convering West New Guinea (West Irian) atau dikenal dengan New York Agreement.
Janji Pemerintah Hindia Belanda untuk memberikan kemerdekaan kepada Papua/Irian Barat pada tahun 1963 merupakan bentuk propaganda politik yang sengaja diciptakan oleh Pemerintah Hindia Belanda karena semakin meningkatnya tuntutan dunia internasional, melalui PBB, agar Pemerintah Hindia Belanda mentaati hasil KMB tahun 1949 yang telah disepakati serta New York Agreement tanggal 15 Agustus 1962. Diharapkan dengan adanya janji kemerdekaan tersebut akan membuat terjadinya perpecahan di masyarakat Papua, yang memang sudah terindikasi oleh Pemerintah Hindia Belanda masyarakat Papua akan memilih untuk bergabung dengan NKRI.

2. New York Agreement sebagai Produk Internasional

Melalui berbagai perundingan termasuk upaya Sekjen PBB, akhirnya Belanda dan Indonesia menandatangani persetujuan New York pada tanggal 15 Agustus 1962 yang memuat road map penyelesaian sengketa atas Papua/Irian Barat yang intinya adalah bahwa administrasi Papua/Irian Barat diserahkan tidak langsung dari Belanda ke Indonesia, melainkan dari Belanda kepada UNTEA sebagai masa transisi, kemudian dari UNTEA kepada Indonesia.
Pertukaran instrumen ratifikasi Persetujuan New York dilakukan pada tanggal 20 September 1962 antara Indonesia dan Belanda tetapi pertukaran tersebut tidak menjadikannya otomatis berlaku karena adanya pihak ketiga yang terlibat yaitu PBB. Biasanya pertukaran instrumen ratifikasi dari satu agreement memastikan berlakunya agreement dimaksud. Persetujuan bilateral ini diterima oleh PBB melalui Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1752 dan dengan Resolusi tersebut, persetujuan berlaku terhitung mulai tanggal 21 September 1962, yaitu pada saat resolusi diterima.
Sesuai persetujuan New York pada tanggal 1 Oktober 1962, Wakil Gubernur H. Veldkamp menyerahkan kekuasaan kepada UNTEA atas Papua/Irian. Pada acara penyerahan ia mengatakan : “Mulai saat ini, akibat persetujuan internasional yang berhubungan dengan itu, maka tanah dan bangsa Nieuw Guenea Barat telah ditempatkan di bawah kepemerintahan yang baru : penguasa sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedaulatan Netherlands atas tanah ini telah berakhir. Tibalah suatu jangka waktu yang baru, jangka mana berlangsung sampai pada saat pertanggungjawaban atas pemerintahan diserahkan kepada Indonesia sepenuhnya”.
Ada dua hal yang perlu dicatat sehubungan dengan pernyataan tersebut. Pertama, kedaulatan Belanda berakhir atas Papua/Irian menurut azas uti possidetis juris atas seluruh wilayah Nusantara. Kedua, Belanda telah memperkirakan bahwa Pepera akan berujung kepada status Papua/Irian Barat akan tetap di tangan Indonesia. Dari saat ini sangat terasa nuansa bahwa persetujuan New York merupakan a face saving formula (formula politik untuk menyelamatkan muka) bagi Pemerintah Belanda.
Persetujuan New York tersebut sah menurut hukum internasional dan tidak bisa begitu saja dicabut apalagi oleh pihak ketiga yang tidak terlibat dalam persetujuan, karena sesuai dengan azas pacta sunt servanda seluruh road map yang digariskan dalam persetujuan, mengikat pihak-pihak yang terlibat dalam persetujuan.

3. The Act of Free Choice atau Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) sebagai Pelaksanaan dari New York Agreement

Pepera telah dilaksanakan sesuai kondisi dan tingkat perkembangan masyarakat Irian saat itu yang tidak memungkinkan dilakukan dengan cara one man one vote. Pada masa pelaksanaan Pepera adalah sulitnya medan dan keprimitifan penduduk asli Papua. Menerapkan kondisi sekarang sebagai ukuran dalam menilai keadaan waktu Pepera, jelas tidak adil dan merupakan upaya memutarbalikkan sejarah.
Pada tanggal 23 Agustus 1968, Fernando Ortiz Sanz tiba di Irian Barat dan memulai perjalanan 10 hari sejauh 3000 mil ke daerah-daerah di seluruh Papua, dengan menggunakan pesawat. Sekembalinya dari perjalanan tersebut, Fernando Ortiz Sanz menulis dalam suatu laporan untuk Sekretaris Umum PBB U Thant bahwa : “Pemerintah harus diberikan kredit atas kemajuan dalam pendidikan dasar, proses pembauran melalui pemakaian bahasa umum (Indonesia), pembangunan sekolah dan menunjukkan usaha-usaha pergaulan yang bersahabat”. Dia juga menambahkan : “Kita mengetahui bahwa prinsip ‘satu orang satu suara’ tidak dapat dilaksanakan di semua daerah Papua, karena kurangnya pengalaman luar dari penduduk. Kita juga mengakui bahwa Pemerintah Indonesia dimana memperlihatkan ketidakpastian tentang hasil-hasil musyawarah, akan mencoba, dengan semua maksud-maksud pembagian itu, mengurangi jumlah orang, perwakilan-perwakilan, dan lembaga-lembaga musyawarah”.
Sekarang yang menjadi persoalan dan sering diangkat dalam forum oleh penentang Pepera adalah mengapa hanya dua tahun sesudah Pepera, Pemerintah RI dapat menyelenggarakan Pemilu di seluruh Papua sebagai bagian dari Pemilu nasional Indonesia dengan cara one man one vote. Mungkinkah hanya dalam dua tahun penduduk Papua yang ‘primitif’ itu berubah menjadi modern, dan masalah sulitnya medan diselesaikan. Jawabnya adalah mungkin, karena hal itu memang telah dilakukan oleh Pemerintah RI, yang dengan segala potensi yang ada saat itu berusaha menunjukkan pada dunia bahwa RI dapat membawa masyarakat Irian Jaya menuju demokrasi melalui Pemilu.
Perlu dipahami juga bahwa dalam menjalankan demokrasi, one man one vote bukanlah satu-satunya cara, tetapi melalui sistem perwakilan demokrasi juga bisa dilaksanakan. Kenyataannya, hal ini terjadi dalam praktek demokrasi di dunia. Jadi janganlah mempersoalkan keabsahan Pepera karena hanya karena menggunakan sistem demokrasi perwakilan.
Proses pelaksanaan Pepera dilaksanakan dari tanggal 24 Juli hingga bulan Agustus 1969 dan berlangsung secara musyawarah. Pepera tersebut dilaksanakan di 8 Kabupaten yang ada pada saat itu, yaitu Merauke, Jayawijaya, Paniai, Fakfak, Sorong, Manokwari, Biak dan Jayapura. Pepera dilaksanakan oleh 1026 anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP) mewakili jumlah penduduk Papua yang berjumlah 809.327 jiwa. Ke-1026 anggota DMP tersebut terdiri atas 400 orang mewakili Unsur tradisional (Kepala Suku/Adat), 360 orang mewakili Unsur Daerah dan 266 orang mewakili Unsur Organisasi Politik/Organisasi Kemasyarakatan/Golongan.
Pelaksanaan Pepera ini berlangsung secara demokratis dan diawasi oleh masyarakat internasional, serta berlangsung sesuai praktek-praktek internasional, di bawah nasehat, bantuan serta partisipasi PBB. Petugas PBB yang mewakili Sekjen PBB adalah Dubes Bolivia Fernando Ortiz Sanz.
Hasil dari Pepera yang dilangsungkan di 8 Kabupaten Irian Barat (Papua), semuanya memilih dan menetapkan dengan suara bulat bahwa Irian Barat merupakan bagian mutlak dari Republik Indonesia. Hasil tersebut disepakati dan disetujui dengan membubuhkan tanda tangan semua yang hadir dalam rapat Pepera tersebut.
Tentang bulatnya suara tentu menyangkut bagaimana piawainya diplomat kita dan tim sukses Republik Indonesia mengajak dan mempengaruhi para peserta rapat Pepera. Namun semua keputusan diserahkan kepada seluruh peserta rapat Pepera dan sesuai dengan aspirasi masyarakat Irian Barat, keyakinan dan dorongan hati nuraninya maka para peserta rapat Pepera memilih untuk bergabung dengan NKRI. Ini menandai bahwa secara de facto masyarakat Irian Barat memilih untuk berintegrasi dengan NKRI. Lebih penting lagi bahwa pelaksanaan Pepera saat itu sejak awal telah diberitahukan kepada PBB serta Belanda, dan pelaksanaannya selalu diikuti dari dekat oleh Pejabat PBB yang bertugas mengawasi.

4. Resolusi PBB No. 2504 Sebagai Bentuk Pengakuan PBB atas Hasil PEPERA

Dalam Sidang Umum PBB, 19 November 1969, dilakukan pembahasan tentang pelaksanaan pekerjaan yang diberikan kepada Sekjen PBB tentang pelaksanaan PEPERA di Irian Barat. Berdasarkan hasil pembahasan tersebut selanjutnya 6 negara mengusulkan untuk mengeluarkan Resolusi 2504 atas pelaksanaan PEPERA di Irian Barat. Akhirnya, resolusi tersebut diterima oleh Majelis Umum PBB dengan imbangan suara 84 Setuju, tidak ada yang menentang dan 30 abstain. Dalam Resolusi 2504 tersebut disebutkan bahwa, “Takes note of the report of the Secretary General and acknowledges with appreciation the fulfillment by the Secretary General and his representative of the tasks entrusted to them under the agreement of 15 August 1962 between the Republis of Indonesia and The Kingdom of the Netherlands concerning West New Guinea (West Irian).
Dapat dipahami bahwa, pelaksanaan Pepera diterima oleh Sidang Majelis Umum PBB dengan catatan. Artinya bahwa masyarakat internasional menerima hasil Pepera yang memutuskan bergabungnya Irian Jaya dalam NKRI.
Pembatalan terhadap Resolusi PBB adalah tidak mungkin, karena apa yang dihasilkan sudah merupakan keputusan yang bersifat final. Resolusi PBB 2504 merupakan penegasan pengakuan PBB atas kedaulatan NKRI, termasuk Irian Jaya di dalamnya, dan karena itu setiap upaya untuk memisahkan daerah tersebut dari NKRI merupakan penentangan terhadap hukum internasional yang berlaku, termasuk terhadap Piagam PBB itu sendiri.
Dalam prinsip tata kehidupan internasional, tidak satupun Negara menyetujui gerakan separatisme. Dukungan dan persetujuan terhadap separatisme adalah bentuk pelanggaran terhadap prinsip dan tujuan PBB.
Oleh karena itu, segala macam upaya dan bentuk yang bertujuan hendak memisahkan Papua dari NKRI sesungguhnya adalah bentuk gerakan separatisme yang harus diluruskan. Selain itu, bila ada segelintir orang yang mengusulkan ide untuk jajak pendapat atau referendum ulang di wilayah Papua, maka ide tersebut sungguh sangat tidak berdasar dan jelas tidak mungkin dilakukan, karena secara de facto dan de jure pada tahun 1969 rakyat Irian Barat (Papua) telah melaksanakan jajak pendapat/referendum melalui PEPERA dan telah memilih serta menetapkan dengan suara bulat bahwa Irian Barat (Papua) merupakan bagian integral dari NKRI.

5. Tidak Mungkin Pembatalan Resolusi PBB No. 2504

Adalah mustahil untuk meminta Pepera dibatalkan oleh Majelis Umum PBB. Selama ini PBB belum mengenal judicial review terhadap Resolusi yang dikeluarkannya. Selain itu, PBB merupakan organisasi dimana anggotanya adalah negara, sehingga tidak mungkin sebuah gerakan (movement) atau Lembaga Swadaya Masyarakat meminta peninjauan kembali atas putusan atau resolusi yang dikeluarkan oleh PBB.
Resolusi Majelis Umum PBB mempunyai peran penting untuk menentukan berdiri tidaknya sebuah negara atau penggabungan wilayah pada suatu negara. Misalnya, pada tahun 1965 PBB mengeluarkan sebuah Resolusi yang menolak keabsahan secara hukum dari deklarasi sepihak atas kemerdekaan dari Rhodesia. Dalam Resolusi tersebut negara-negara anggota diminta untuk tidak mengakui proklamasi yang dilakukan oleh Rhodesia. Sebanding dengan kejadian di atas, Resolusi yang dikeluarkan oleh PBB untuk mengakui hasil Pepera harus dianggap sebagai dokumen yang menentukan bahwa act of free choice telah dilakukan dan hasil Pepera sudah diterima oleh hukum internasional melalui Resolusi PBB sehingga keberadaan Papua dalam NKRI adalah sesuatu yang sudah final.

6. Tuntutan Pendaftaran Permasalahan Papua ke Komisi Dekolonisasi PBB adalah Tidak Mungkin dan mengingkari Azas Dekolonisasi Internasional

Papua merupakan bagian integral dari wilayah kedaulatan Republik Indonesia sejak tanggal 17 Agustus 1945. Hal ini merupakan konsekwensi logis dari azas uti possidetis juris (batas wilayah negara bekas jajahan yang kemudian merdeka, mengikuti batas wilayah sebelum negara tersebut merdeka) dalam hukum internasional, yang telah diakui dan dipraktekkan oleh berbagai negara.
Di samping azas uti possidetis juris tersebut, dalam menghadapi Belanda (dulu) dan separatis sekarang ini, perlu dipahami azas-azas lain yang mendasari dekolonisasi atau memerdekakan daerah-daerah jajahan, seperti :
a. Azas dekolonisasi dilakukan sekali dan berlaku selamanya. Artinya sebuah negara yang sudah merdeka dari penjajahan tidak lagi memerlukan proses dekolonisasi. Dalam proses konteks Indonesia sebagai legal successor state bagi Hindia Belanda, Indonesia tidak bisa lagi mengalami proses dekolonisasi atau dipecah-pecah atau sebagian wilayahnya dipisahkan menjadi negara tersendiri atau dijadikan kembali menjadi daerah jajahan/koloni.
b. Selain itu, Azas dekolonisasi berlaku selamanya. Hal tersebut penting untuk kepastian hukum yang diperlukan oleh setiap masyarakat termasuk masyarakat internasional dalam membangun dan memelihara serta melestarikan perdamaian dan keamanan internasional.

Proses dekolonisasi dilakukan secara utuh dalam pengertian bahwa di atas sebuah daerah jajahan hanya didirikan sebuah negara berdaulat sebagai successor state, tidak dua atau lebih. Dengan demikian maka tuntutan OPM untuk pembentukan dan pendaftaran permasalahan Papua ke Komisi Dekolonisasi PBB adalah sungguh sangat tidak relevan lagi.

Tidak ada komentar: