Rabu, 17 Desember 2008

KEMBALINYA PENCARI SUAKA POLITIK KE TANAH PAPUA INDONESIA

FENOMENA MARAKNYA PENCARI SUAKA KE LUAR NEGERI ASAL PAPUA
YANG KEMBALI KE TANAH AIR INDONESIA


Berdasarkan catatan yang kami ikuti dari perkembangan di media massa diketahui bahwa antara bulan November sampai Desember 2008 tercatat 6 orang pencari suaka asal Papua dari negara Australia, PNG dan Vanuatu yang kembali ke pangkuan ibu pertiwi, tanah air Indonesia. Sebagian besar alasan utama yang dikemukakan tentang kembalinya mereka ke tanah air adalah karena merasa tertipu dengan janji-janji pimpinan kelompok pencari suaka yang memberikan harapan bahwa mereka akan memperoleh kehidupan yang lebih baik di luar negeri, karena negara tujuan pencari suaka politik tersebut akan mendukung sepenuhnya perjuangan mereka dalam mencapai Papua Merdeka. Akan tetapi janji dari para pimpinan kelompok pencari suaka tersebut ternyata hanya janji kosong dan sama sekali tidak terbukti dalam kenyataan. Kondisi yang mereka peroleh di Negara tujuan pencari suaka politik (seperti Australia, PNG maupun Vanuatu) adalah kehidupan yang serba sulit dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dilecehkan oleh penduduk dan pemerintah Negara tujuan suaka politik dan terbukti bahwa Pemerintah Negara tujuan suaka politik tersebut mendukung sepenuhnya integritas wilayah Papua dalam bingkai NKRI, karena secara hukum internasional dengan jelas dan sah menyebutukan bahwa wilayah Papua adalah bagian dari Negara Indonesia.

Kondisi lain yang semakin mendorong para pencari suaka politik asal Papua untuk kembali ke pangkuan ibu pertiwi Indonesia adalah :

1. Adanya keberhasilan proses percepatan pembangunan melalui program Otsus Papua, ditandai dengan perhatian yang besar dari pemerintah terhadap kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup masyarakat asli Papua serta pengembangan wilayah yang semakin cepat dengan dibukanya akses informasi dan transportasi di seluruh wilayah Provinsi Papua dan Papua Barat.
2. Keterbukaan dari Pemerintah Indonesia melalui perwakilannya di luar negeri untuk menerima kembali dengan perasaan gembira para pencari suaka politik asal Papua yang telah menunjukkan itikad baik untuk kembali ke pangkuan ibu pertiwi Indonesia, serta menjamin keselamatan dan biaya perjalanan kembali sampai ke Provinsi Papua maupun Papua Barat.
3. Adanya niat baik dari Pemerintah Pusat dan Daerah untuk mengembangkan kehidupan yang demokratis, konsisten terhadap hukum dan perlindungan HAM, penghormatan terhadap budaya lokal Papua sebagai bagian dari budaya nasional Indonesia serta peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah Papua.
4. Tidak jelasnya status para pencari suaka asal Papua di Negara tujuan (Australia, PNG dan Vanuatu) karena pemerintah negara tujuan hanya sebatas menampung para pencari suaka tersebut namun tidak mengangkat mereka menjadi warga negara resmi. Oleh karena itu, para pencari suaka tersebut tidak mendapat jaminan sosial dan kehidupan mereka menjadi terlantar.
5. Adanya kekangan dan perasaan tertekan oleh intimidasi pimpinan kelompok pencari suaka dalam melakukan aktivitas sehari-hari, sehingga para pencari suaka tersebut merasa tidak bebas dalam menyampaikan pendapat maupun beraktivitas sehari-hari. Ini adalah bukti pelanggaran HAM oleh pimpinan kelompok pencari suaka terhadap para anggotanya.
6. Adanya perasaan frustasi karena tidak tercapainya cita-cita pribadi (seperti ingin memperoleh kehidupan yang layak atau menamatkan pendidikan) serta tidak seimbangnya antara perjuangan yang dilakukan dengan hasil yang diperoleh.
7. Adanya perasaan rindu terhadap kampung halaman dan sanak keluarga yang berada di tanah air Indonesia.

Selain itu, dalam waktu dekat akan ada proses repatriasi Warga Negara Indonesia yang meminta suaka politik ke PNG untuk kembali ke pangkuan ibu pertiwi Indonesia dalam jumlah yang besar. Proses repatriasi ini sedang difasilitasi dan diurus oleh Pemerintah RI dan Pemerintah Daerah Provinsi Papua. Alasan utama kembalinya WNI yang meminta suaka politik ke PNG tersebut adalah karena melihat kondisi di wilayah Papua sudah maju dan kesejahteraan masyarakatnya sudah lebih baik, serta janji Papua Merdeka hanya omong kosong yang tidak akan pernah terwujud.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh seluruh masyarakat di Provinsi Papua dan Papua Barat adalah :

1. Jangan pernah percaya dengan janji-janji Tokoh atau Kelompok yang menyuarakan ide Papua Merdeka, karena itu semua hanya bohong untuk mencari popularitas atau keuntungan pribadi dengan mengorbankan kepentingan masyarakat Papua. Status politik Papua sudah sah sebagai bagian dari NKRI dan diakui oleh hukum internasional maupun negara-negara di seluruh dunia.
2. Tetap fokus pada upaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup pribadi maupun keluarga untuk menyongsong masa depan yang lebih baik.
3. Kembangkan pola hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang baik selaras dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, saling menghormati dan menghargai serta selalu memelihara kedamaian hidup di masyarakat.

Demikan, semoga bermanfaat dan Tuhan Memberkati.

Sabtu, 06 Desember 2008

BARISAN MERAH PUTIH DAN KOMPONEN MASYARAKAT PEDULI NKRI

TANGGAPAN BARISAN MERAH PUTIH
BESERTA KOMPONEN MASYARAKAT PEDULI NKRI

TERHADAP

DEKLARASI POLITIK BANGSA PAPUA BARAT
YANG DITANDATANGANI OLEH TOM BEANAL YANG MENGKLAIM DIRINYA SEBAGAI PEMIMPIN BESAR BANGSA PAPUA BARAT DAN FORKORUS YABOISEMBUT, S.Pd YANG MENGKLAIM DIRINYA SEBAGAI PEMIMPIN BESAR MASYARAKAT ADAT PAPUA BARAT DAN
DIBACAKAN OLEH SAUDARA THAHA AL HAMID
SEKRETARIS JENDERAL PRESIDIUM DEWAN PAPUA
PADA TANGGAL 1 DESEMBER 2008
DI LAPANGAN MAKAM THEYS SENTANI JAYAPURA.


1. KAMI BARISAN MERAH PUTIH BESERTA KOMPONEN MASYARAKAT PEDULI NKRI DI TANAH PAPUA MENYATAKAN BAHWA INDONESIA ADALAH NEGARA YANG MEMILIKI KERAGAMAN SUKU, AGAMA, RAS BAIK RAS MELAYU, RAS CINA DAN RAS MELANESIA. PERNYATAAN BAHWA RAS MELANESIA YANG ADA DI PAPUA ADALAH BUKAN BANGSA INDONESIA MERUPAKAN PERNYATAAN PROVOKATIF YANG MENGARAH KEPADA MASALAH SARA DAN TIDAK BERDASAR. SEPERTI KITA KETAHUI RAS MELANESIA ADALAH BAGIAN YANG TIDAK TERPISAHKAN DARI BANGSA INDONESIA KARENA BUKAN HANYA MASYARAKAT PAPUA SAJA YANG MEMILIKI RAS MELANESIA TETAPI DI BELAHAN INDONESIA LAINNYA SEPERTI NUSA TENGGARA TIMUR DAN PULAU MALUKU JUGA ADALAH RAS MELANESIA YANG TELAH HIDUP RUKUN DAMAI SECARA BERDAMPINGAN DENGAN SAUDARA-SAUDARANYA SEBANGSA DAN SETANAH AIR INDONESIA YANG BERIDEOLOGIKAN PANCASILA DENGAN SEMBOYAN BHINEKA TUNGGAL IKA (WALAUPUN BERBEDA-BEDA TAPI TETAP SATU).

2. TERHADAP PERNYATAAN BAHWA PELAKSANAAN PEPERA 1969 CACAT HUKUM DAN MORAL SERTA TIDAK SAH DAN MEMINTA PBB UNTUK MENGAKUI KEMERDEKAAN PAPUA BARAT PADA 1 DESEMBER 1961, BARISAN MERAH PUTIH BESERTA KOMPONEN MASYARAKAT PEDULI NKRI DI TANAH PAPUA MENYATAKAN BAHWA PERNYATAAN TERSEBUT TIDAK BERDASAR KARENA SAYA SELAKU KETUA UMUM BARISAN MERAH PUTIH DI TANAH PAPUA YANG JUGA MERUPAKAN PELAKU SEJARAH PEPERA 1969 MENGETAHUI SECARA PERSIS BAGAIMANA PELAKSANAAN PEPERA 1969 DIMANA RAKYAT PAPUA SAAT ITU MEMUTUSKAN UNTUK BERGABUNG DENGAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA DAN TELAH DISETUJUI DAN DITETAPKAN OLEH PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MELALUI RESOLUSI PBB NO. 2504 TANGGAL 19 NOVEMBER 1969, YANG BERARTI BAHWA PAPUA ADALAH MUTLAK BAGIAN YANG TIDAK TERPISAHKAN DARI NKRI. PERNYATAAN DEKLARASI POLITIK YANG MENYATAKAN PEPERA TIDAK SAH/CACAT HUKUM ADALAH PEMBOHONGAN PUBLIK UNTUK KEPENTINGAN KELOMPOK-KELOMPOK TERTENTU YANG INGIN AGAR PEMBANGUNAN DI PAPUA MELALUI OTONOMI KHUSUS TIDAK BERJALAN LANCAR.

3. TERHADAP PERNYATAAN BAHWA PAPUA BARAT MERUPAKAN TANAH DARURAT, BARISAN MERAH PUTIH BESERTA KOMPONEN MASYARAKAT PEDULI NKRI MENANGGAPI BAHWA PERNYATAAN TERSEBUT MERUPAKAN PEMBOHONGAN PUBLIK DAN CENDERUNG TENDENSIUS, KARENA SAMPAI SAAT INI STATUS TANAH PAPUA MERUPAKAN TERTIB SIPIL DAN SITUASI WILAYAH DI PAPUA SEBAGAI TANAH DAMAI TETAP KONDUSIF DAN MERUPAKAN TANAH YANG DIBERKATI. SAAT INI JUSTRU KITA BUTUHKAN ADALAH PEMBANGUNAN DI SEGALA BIDANG UNTUK MENGEJAR KETERTINGGALAN PAPUA DARI SAUDARA-SAUDARANYA YANG ADA DI BAGIAN INDONESIA LAINNYA MELALUI OTONOMI KHUSUS DALAM BINGKAI NKRI.

4. TERHADAP PERNYATAAN BAHWA PT. FREEPORT DAN EKSPLORASI BRITISH PETROLEUM HARUS DITUTUP KARENA MELAKUKAN PELANGGARAN HAM DAN GENOSIDA DI TANAH PAPUA, BARISAN MERAH PUTIH BESERTA KOMPONEN MASYARAKAT PEDULI NKRI MENANGGAPI BAHWA SAUDARA TOM BEANAL YANG MENGKLAIM DIRINYA SEBAGAI PEMIMPIN BANGSA PAPUA BARAT ADALAH SALAH SATU KOMISARIS PT. FREEPORT YANG DIGAJI SEKITAR RP. 50 JUTA/BULAN DAN TELAH MENIKMATI FASILITAS YANG DIBERIKAN OLEH PT. FREEPORT, SEMENTARA RAKYAT 7 SUKU DI SEKITAR AREA PT. FREEPORT MENERIMA 1 % DARI PENDAPATAN PT. FREEPORT ; JADI SANGATLAH ANEH APABILA TOM BEANAL SENDIRI INGIN MENUTUP PT. FREEPORT SEMENTARA YANG BERSANGKUTAN MENIKMATI FASILITASNYA, BERARTI TOM BEANAL MELAKUKAN PEMBOHONGAN TERHADAP DIRI SENDIRI SEOLAH-OLAH YANG BERSANGKUTAN PEDULI TERHADAP MASYARAKAT PAPUA PADAHAL YANG BERSANGKUTAN TURUT MENIKMATI KEHADIRAN PT. FREEPORT TERSEBUT.

5. TERHADAP PERNYATAAN BAHWA PEMERINTAH NEGARA VANUATU, NEGARA DI KEPULAUAN PASIFIK, ANGGOTA PARLEMEN AUSTRALIA DAN NEW ZEALAND, ANGGOTA PARLEMEN DAN PEMERINTAH INGGRIS, ANGGOTA PARLEMEN DI NEGARA-NEGARA UNI EROPA DAN AMERIKA SERIKAT TELAH MENDUKUNG UNTUK PENENTUAN NASIB SENDIRI BAGI PAPUA BARAT, BARISAN MERAH PUTIH BESERTA KOMPONEN MASYARAKAT PEDULI NKRI MENANGGAPI BAHWA PERNYATAAN TERSEBUT MERUPAKAN PERNYATAAN YANG TIDAK BERDASAR DAN MENYESATKAN MASYARAKAT DI TANAH PAPUA, KARENA SAMPAI SAAT INI PEMERINTAH INGGRIS, AUSTRALIA, VANUATU, NEGARA-NEGARA KEPULAUAN PASIFIK, NEW ZEALAND, NEGARA-NEGARA UNI EROPA DAN AMERIKA SERIKAT TIDAK PERNAH MENGELUARKAN SURAT DUKUNGAN SECARA RESMI KEPADA OPM (ORGANISASI PAPUA MERDEKA) DAN SAMPAI SAAT INI NEGARA-NEGARA TERSEBUT DI ATAS MASIH MENDUKUNG SEPENUHNYA KEBERADAAN PAPUA SEBAGAI BAGIAN YANG TIDAK TERPISAHKAN DARI NKRI.

6. TERHADAP PERNYATAAN AGAR ANAK BANGSA PAPUA BARAT TIDAK TERPROVOKASI TERHADAP TRIK YANG DILAKUKAN OLEH PEMERINTAH INDONESIA MELALUI KAKI TANGANNYA SIPIL DAN MILITER BAIK ORANG ASLI PAPUA MAUPUN NON PAPUA, BARISAN MERAH PUTIH BESERTA KOMPONEN MASYARAKAT PEDULI NKRI MENANGGAPI BAHWA JUSTRU YANG SELAMA INI MEMPROVOKASI MASYARAKAT AGAR TIMBUL TINDAKAN ANARKHIS, RASA TIDAK AMAN DAN INSTABILITAS DI TANAH PAPUA ADALAH KELOMPOK YANG MENAMAKAN DIRINYA PRESIDIUM DEWAN PAPUA (PDP) MELALUI DEWAN ADAT PAPUA (DAP) DAN KOMITE NASIONAL PAPUA BARAT (KNPB) SERTA ORGANISASI OTORITAS NASIONAL PAPUA BARAT (ONPB). UNTUK ITU KAMI BARISAN MERAH PUTIH BESERTA KOMPONEN MASYARAKAT PEDULI NKRI MEMINTA ORGANISASI-ORGANISASI YANG SELALU MENDISKREDITKAN NKRI DI TANAH PAPUA AGAR MENGHENTIKAN SELURUH BENTUK PROVOKASI, PERGERAKAN, UNJUK RASA, PENYESATAN INFORMASI DAN PEMBOHONGAN PUBLIK BAIK MELALUI STATEMEN PERORANGAN MAUPUN KELOMPOK YANG MENGAKIBATKAN TIMBULNYA KETAKUTAN DI MASYARAKAT DAN INSTABILITAS KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA DI SELURUH TANAH PAPUA.

7. KAMI BARISAN MERAH PUTIH BESERTA KOMPONEN MASYARAKAT PEDULI NKRI MEMINTA KEPADA TNI DAN POLRI UNTUK MENINDAK SECARA TEGAS KEPADA TOKOH PERORANGAN MAUPUN KELOMPOK YANG SELAMA INI MENGELUARKAN STATEMEN ANTI REPUBLIK INDONESIA DAN TELAH MENYAMPAIKAN SUATU PERNYATAAN POLITIK DI DEPAN UMUM UNTUK MEMISAHKAN DIRI DARI NKRI AGAR DIPROSES SECARA HUKUM YANG BERLAKU DI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA DAN MENURUT KAMI BARISAN MERAH PUTIH BESERTA KOMPONEN MASYARAKAT PEDULI NKRI PERBUATAN YANG DILAKUKAN DI LAPANGAN MAKAM THEYS PADA TANGGAL 1 DESEMBER 2008 MERUPAKAN TINDAKAN YANG MENGARAH PADA PERBUATAN MAKAR.

8. KAMI BARISAN MERAH PUTIH BESERTA KOMPONEN MASYARAKAT PEDULI NKRI TETAP BERTEKAD MEMPERTAHANKAN PAPUA SEBAGAI BAGIAN YANG TIDAK TERPISAHKAN DARI NKRI SAMPAI TITIK DARAH PENGHABISAN.



JAYAPURA, DESEMBER 2008


BARISAN MERAH PUTIH PAPUA


KETUA “TERTANDA” (BAPAK RAMSES OHEE)

SEKRETARIS “TERTANDA” (YONAS A. NUSSY)



(DISADUR DARI HARIAN CENDERAWASIH POS, 6 DESEMBER 2008)

Minggu, 30 November 2008

PERISTIWA 1 DESEMBER 1961

PERISTIWA 1 DESEMBER 1961
ADALAH REKAYASA KOLONIAL BELANDA
UNTUK TIPU MASYARAKAT PAPUA DAN
MEMECAH BELAH NKRI



FAKTA SEJARAH YANG PERLU MASYARAKAT PAPUA KETAHUI :

1. Menjelang Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag tahun 1949, Belanda bersiap-siap untuk mempertahankan Papua. Menurut pandangan Menteri Wilayah Seberang Lautan Belanda H.J. van Maarseveen, Belanda membutuhkan tanah di Timur Jauh yang bisa dijadikan Tropical Holland untuk menampung orang-orang pro-Belanda yang mengalami kesulitan di Indonesia ; dan Papua bisa menjadi pangkalan Militer Belanda.

2. Kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag tahun 1949 adalah Pemerintah Hindia Belanda mengakui kedaulatan NKRI dari Sabang sampai Merauke tapi menunda integrasi wilayah Papua ke dalam NKRI hingga tahun 1953. Namun hasil KMB ini diingkari oleh Belanda yang selanjutnya diikuti dengan perkuatan administrasi dan kekuatan militernya di Papua.

3. Pada 1957, ada pemikiran untuk mengikutsertakan penduduk asli dalam pemerintahan setempat namun kenyataannya pemilihan penduduk asli Papua tersebut melalui penunjukan oleh Pemerintah Belanda sebagai cara untuk memaksakan terbentuknya dewan-dewan boneka, buatan Belanda.

4. Perkembangan politik di Papua pada tahun 1960-an, menunjukkan besarnya gerakan nasionalisme Indonesia di masyarakat Papua ditambah tekanan dunia internasional untuk menyatukan Papua kedalam NKRI, maka memaksa Belanda untuk membentuk ”Dewan Nieuw Guinea” dan selanjutnya Komite Nasional Papua dimana anggotanya dipilih oleh Pemerintah Belanda.

5. Dengan rekayasa dari Pemerintah Belanda untuk mengurangi tekanan dunia internasional agar mengembalikan Papua kepada Pemerintah Indonesia, maka tanggal 19 Oktober 1961 dilakukan pertemuan Komite Nasional Papua dan Pemerintah Belanda menentukan pengibaran Bendera Papua dilakukan tanggal 1-12-1961 di Hollandia dan lagu Hai Tanahku Papua dinyanyikan bersama-sama dengan lagu kebangsaan Belanda Wilhelmus. Tindakan Pemerintah Belanda tersebut berhasil meredam sementara tekanan dunia internasional serta memecah belah masyarakat Papua yang saat itu sebagian besar sudah berkeinginan untuk bergabung dengan NKRI. Niat Pemerintah Belanda adalah berusaha sekuat tenaga mempertahankan wilayah Papua agar tetap berada di bawah kekuasaan Belanda.



SEKARANG, KITORANG JANGAN PERNAH TERHASUT UNTUK MEMPERINGATI KEJADIAN 1 DESEMBER KARENA BERTUJUAN MERUSAK DAN MEMECAH BELAH KESATUAN BANGSA INDONESIA.

PEMERINTAH BELANDA DAN SEMUA NEGARA ASING TIDAK INGIN MELIHAT BANGSA INDONESIA BERSATU SEHINGGA MENJADI KUAT, MAJU DAN SEJAHTERA. KARENA ITU, SEMUA NEGARA ASING SAMPAI SEKARANG BERUSAHA KERAS UNTUK MEMECAH BELAH BANGSA INDONESIA AGAR BANGSA INDONESIA BISA DIKUASAI OLEH NEGARA ASING DAN MENGERUK SEMUA KEKAYAAN ALAM BANGSA INDONESIA.


”MARI KITORANG SEMUA BERSATU DALAM KEBHINEKAAN UNTUK MEMBANGUN NKRI YANG KUAT, MAJU DAN SEJAHTERA”.

Sabtu, 08 November 2008

BUDAYA PAPUA

Integrasi Kebudayaan Papua dalam Kebudayaan Indonesia


Integrasi kebudayaan berarti penyesuaian antara dua atau lebih kebudayaan mengenai beberapa unsur kebudayaan (cultural traits) mereka yang berbeda atau bertentangan, agar dapat dibentuk menjadi suatu sistem kebudayaan yang selaras (harmonis). Caranya adalah melalui difusi (penyebaran), di mana unsur kebudayaan baru diserap ke dalam suatu kebudayaan yang berbeda melalui modifikasi dan koordinasi dari unsur-unsur kebudayaan baru dan lama.
Integrasi kebudayaan tersebut merupakan proses menuju integrasi sosial lebih lanjut menuju pada identitas sosial yang lebih besar. Integrasi sosial adalah penyatupaduan dari kelompok-kelompok masyarakat yang asalnya berbeda menjadi suatu kelompok besar dengan cara melenyapkan perbedaan dan jati diri masing-masing, namun kelompok-kelompok sosial yang telah bersatu tersebut tetap mempunyai kebudayaan yang berbeda satu sama lain dan bersifat unik (khas), namun menghargai, menerima dan dapat menjadi bagian dari unsur-unsur kebudayaan yang berbeda dari kelompok lain.

Presiden RI pertama Ir. Soekarno pernah menyatakan kepada Ho Chi Minh, Kepala Negara Vietnam Utara, bahwa “Di Indonesia kita tidak mengenal adanya kelompok minoritas. Suku Dayak, Suku Jawa, Suku Papua, Suku Tionghoa bukanlah kelompok minoritas. Tidak ada minoritas, kalau ada minoritas tentu ada mayoritas. Kalau ada mayoritas akan timbul eksploitasi daripada mayoritas terhadap minoritas. Suku berarti kaki, jadi bangsa Indonesia banyak kakinya. Ada kaki Jawa, kaki Batak, kaki Papua, kaki Sumba dan ada kaki peranakan Tionghoa. Kesemuanya adalah kaki-kaki dari satu tubuh, yaitu tubuh bangsa Indonesia”.

Negara dan Bangsa Indonesia secara de jure dan de facto telah sah memiliki wilayah dari Sabang sampai Merauke, berpemerintahan yang berdaulat serta memiliki warga masyarakat yang mendiami wilayah tersebut. Demikian pula wilayah Papua secara de jure dan de facto merupakan wilayah dari negara Republik Indonesia, yang merupakan negara yang lahir melalui perjuangan membebaskan diri dari penjajahan Belanda. Oleh karena itu, pemerintah perlu merumuskan strategi yang mantap, terarah dan terukur guna mewujudkan proses integritas nasional bukan hanya sebatas integritas teritorial, termasuk di wilayah Papua. Dengan adanya integrasi nasional akan memperkuat secara fundamental persatuan dan kesatuan nasional sehingga dapat lebih menjamin terwujudnya negara yang makmur, aman dan tentram.

Fenomena dari segelintir masyarakat Papua saat ini ada upaya untuk lebih menonjolkan unsur suku dengan mengeksploitasi permasalahan adat sebagai perwujudan untuk meraih ambisi politik yang lebih tinggi, namun berpotensi menumbuhkan dan mengembangkan potensi konflik diantara sesama anak bangsa Indonesia. Papua, sebagai wilayah yang sedang aktif membangun dalam kerangka kebijakan Otsus, membutuhkan suatu fundamen yang kuat agar keberlangsungan serta keberhasilan pembangunan dapat terwujud secara hakiki, yaitu identitas kebangsaan Indonesia yang kuat yang tercermin dari adanya rasa bangga dari setiap warga masyarakat Papua sebagai Warga Negara Indonesia serta adanya kesediaan untuk mengabdi demi kepentingan bangsa dan negara. Tanpa itu, pembangunan hanya bersifat ”semu” dan sebatas hasil fisik namun tidak bermakna karena tidak memiliki jiwa (Roh).

Diharapkan kondisi di atas disadari oleh segenap komponen bangsa yang memiliki kepedulian terhadap permasalahan di Papua dan Kebangsaan Indonesia, termasuk seluruh masyarakat Papua yang menjadi subjek dari pembangunan yang dilaksanakan. Oleh karena itu pemerintah (dengan melibatkan partisipasi masyarakat) perlu melakukan beberapa hal sebagai berikut :

1.Perlunya perumusan dan pengesahan UU tentang kewarganegaraan dimana di dalamnya terdapat penanaman dan aktualisasi hak dan kewajiban selaku Warga Negara Indonesia.
2.Menghidupkan kembali Kementerian yang mengurus masalah Kebudayaan Nasional karena perlu langkah-langkah strategis dan implementatif untuk menjamin keberlangsungan proses integrasi nasional yang belum selesai dan tidak akan pernah selesai.
3.Mengembangkan kembali pendidikan tentang dasar-dasar ideologi negara di semua level pendidikan secara bertingkat dan berlanjut namun sesuai konteks perkembangan jaman dan tidak bersifat indoktrinasi.
4.Mensosialisasikan tentang dasar-dasar ideologi negara kepada segenap komponen masyarakat dengan menggunakan berbagai media yang menarik dan selaras dengan kondisi masyarakat sasaran.
5.Menumbuhkan budaya tertib hukum sebagai dasar pelaksanaan dari sistem politik yang demokratis dan beradab.
6.Memberikan ruang untuk memperkenalkan, mempelajari dan mengekspresikan setiap budaya yang hidup dan berkembang di negara Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
7.Menciptakan setiap momentum untuk menumbuhkembangkan kebanggaan selaku Warga Negara Indonesia dengan memanfaatkan segenap potensi bangsa yang ada melalui berbagai kegiatan dalam setiap sendi kehidupan masyarakat, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional.

Semoga sumbangan pemikiran tersebut dapat membantu proses integrasi budaya Papua kedalam kebudayaan Indonesia secara utuh dan menyeluruh.

Sabtu, 27 September 2008

Penjelasan kedudukan PP No. 77 Tahun 2007 dalam UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua

UNDANG-UNDANG (UU) NO. 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA TELAH MEMBERIKAN KEWENANGAN KHUSUS YANG DIAKUI KEPADA PROVINSI PAPUA UNTUK MENGATUR DAN MENGURUS KEPENTINGAN MASYARAKAT MENURUT PRAKARSA SENDIRI BERDASARKAN ASPIRASI DAN HAK-HAK DASAR MASYARAKAT PAPUA.

DALAM UU NO. 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA, BAB II PASAL 2MENGENAI LAMBANG-LAMBANG DISEBUTKAN BAHWA :
1. PROVINSI PAPUA SEBAGAI BAGIAN DARI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA MENGGUNAKAN SANG MERAH PUTIH SEBAGAI BENDERA NEGARA DAN INDONESIA RAYA SEBAGAI LAGU KEBANGSAAN.
2. PROVINSI PAPUA DAPAT MEMILIKI LAMBANG DAERAH SEBAGAI PANJI KEBESARAN DAN SIMBOL KULTURAL BAGI KEMEGAHAN JATI DIRI ORANG PAPUA DALAM BENTUK BENDERA DAERAH DAN LAGU DAERAH YANG TIDAK DIPOSISIKAN SEBAGAI SIMBOL KEDAULATAN (KEMERDEKAAN).
3. KETENTUAN LAMBANG DAERAH SEBAGAIMANA DIMAKSUD DI ATAS DIATUR LEBIH LANJUT DENGAN PERDASUS DAN BERPEDOMAN PADA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.

PERATURAN PEMERINTAH (PP) NO. 77 TAHUN 2007 TENTANG LAGU DAN LAMBANG DAERAH MERUPAKAN PENJABARAN DARI UU NO. 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA BAB II PASAL 2 DI ATAS, YANG MENYEBUTKAN DENGAN JELAS BAHWA PENENTUAN LAMBANG DAERAH MEMUAT PERSYARATAN :
1. TIDAK DIPOSISIKAN SEBAGAI SIMBOL KEDAULATAN (KEMERDEKAAN).
2. SESUAI DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG DITETAPKAN PEMERINTAH RI (TERMASUK PP NO. 77 TAHUN 2007).
3. DIATUR DENGAN PERDASUS YANG DISAHKAN OLEH DPR PROVINSI PAPUA.

USULAN DEWAN ADAT PAPUA (DAP) PIMPINAN BAPAK FORKORUS YABOISEMBUT SERTA BEBERAPA ORGANISASI LAINNYA YANG MENYATAKAN BENDERA BINTANG KEJORA SEBAGAI LAMBANG DAERAH ADALAH NYATA DAN JELAS BERTENTANGAN DENGAN UU NO. 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA, PP NO. 77 TAHUN 2007 TENTANG LAGU DAN LAMBANG DAERAH, SERTA MENYALAHI MEKANISME POLITIK DI PROVINSI PAPUA, KARENA MASALAH LAMBANG DAERAH PROVINSI PAPUA BELUM DISUSUN DAN DITETAPKAN MELALUI PERDASUS.

PERLU DIPAHAMI BAHWA BENDERA BINTANG KEJORA (SEJENISNYA), BURUNG MAMBRUK DAN LAGU ’HAI TANAHKU PAPUA’ TIDAK BISA DIJADIKAN LAMBANG DAERAH PROVINSI DI SELURUH WILAYAH INDONESIA, KARENA LAGU DAN LAMBANG TERSEBUT TELAH DIGUNAKAN OLEH ORGANISASI PAPUA MERDEKA (OPM), YANG SEJARAHNYA MERUPAKAN ORGANISASI BENTUKAN KOLONIAL BELANDA.

Kamis, 28 Agustus 2008

UU NO. 35 TAHUN 2008

PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 35 TAHUN 2008
TENTANG
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2001
TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA
MENJADI UNDANG-UNDANG

Pemberlakuan otonomi khusus di Provinsi Papua Barat memerlukan kepastian hukum yang sifatnya mendesak dan segera agar tidak menimbulkan hambatan percepatan pembangunan khususnya bidang sosial, ekonomi, dan politik, serta infrastruktur.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Presiden telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, untuk memberikan landasan hukum yang kuat dalam pemberlakuan otonomi khusus bagi Provinsi Papua Barat.

Berdasarkan Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat yang kemudian berubah menjadi Provinsi Papua Barat yang wilayahnya pada saat ini meliputi Kabupaten Manokwari, Kabupaten Teluk Wondama, Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Fak-Fak, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Sorong, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Sorong Selatan, dan Kota Sorong, dalam kenyataannya telah menjalankan urusan pemerintahan dan pembangunan serta memberikan pelayanan kepada masyarakat sejak tahun 2003, namun belum diberlakukan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Berdasarkan hal tersebut serta dalam rangka optimalisasi penyelenggaraan dan efektivitas pemerintahan di Provinsi Papua Barat, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua perlu ditetapkan menjadi Undang-Undang.


TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4884

Rabu, 30 Juli 2008

AGENDA OTSUS PAPUA

AGENDA OTSUS PAPUA
SEBAGAI PERWUJUDAN KEMANDIRIAN BANGSA INDONESIA
DI BIDANG EKONOMI DAN KEBUDAYAAN

Satu agenda penting yang mesti kita pikirkan dewasa ini adalah kemandirian ekonomi dan kebudayaan yang dapat dijadikan basis bagi pembangunan dan kebangkitan bangsa Indonesia di masa depan.

Dalam era perdagangan bebas saat ini bangsa Indonesia yang memiliki jumlah penduduk ke-empat terbesar di dunia telah dijadikan arena pasar bagi produk barang dan jasa yang sangat menguntungkan bagi berbagai perusahaan di seluruh dunia. Melalui jaringan sistem pasar bebas di satu pihak, dan perlindungan hak-hak milik intelektual di lain pihak, telah menjerat bangsa Indonesia untuk terus menerus menjadi konsumen bahkan membuka peluang bagi kekuatan internasional yang dikendalikan oleh satu - dua negara asing untuk melakukan intervensi ke dalam kedaulatan hukum Indonesia.

Oleh karena itu, tidak ada jalan lain bagi bangsa Indonesia kecuali berpikir mengenai pentingnya agenda membangun kemandirian, baik dari segi ekonomi maupun kebudayaan. Kebangkitan kembali bangsa Indonesia haruslah bertumpu pada kemandirian basis-basis ekonomi dan kebudayaan di daerah-daerah dan bahkan di desa-desa.

Agenda Otonomi Khusus Papua yang sedang marak dilaksanakan saat ini haruslah dimanfaatkan dengan sungguh-sungguh sebagai upaya memulihkan dan menumbuhkan sistem demokrasi dan kemandirian ekonomi kampung di seluruh wilayah Provinsi Papua dan Papua Barat. Sudah saatnya bagi kaum cendikiawan Papua untuk mengarahkan idealisme yang bersifat horizontal, yaitu membiasakan diri melihat ke bawah, ke daerah, dan bahkan ke kampung-kampung tempat dari mana keluarga dan leluhur kita berasal.

Bantuan dana 100 juta yang diberikan oleh Pemda Provinsi Papua untuk membangun kampung memang belum memadai untuk mengembangkan kesejahteraan kampung secara menyeluruh namun diharapkan tetap dapat mendorong pertumbuhan perekonomian masyarakat di kampung-kampung. Di samping itu, hal yang paling penting adalah ditumbuhkannya inisiatif dan kemandirian dari bawah, dan kaum cendikiawan serta tokoh-tokoh pemuda harus berusaha memberikan pelatihan keterampilan keahlian serta fungsi-fungsi pendampingan terhadap masyarakat di kampung-kampung, terutama dalam membangun kemandirian ekonomi dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat kampung.

Hanya dengan cara di atas, kita dapat berharap bahwa kesejahteraan masyarakat Papua dan kemandirian bangsa Indonesia di masa depan dapat dibangkitkan dengan berbasis pada kemandirian ekonomi di daerah-daerah dan di desa-desa khususnya di Provinsi Papua dan Papua Barat dan umumnya di seluruh tanah air Indonesia.

Sabtu, 12 Juli 2008

KETENTUAN KAMPANYE PARPOL DI PROV. PAPUA

KETENTUAN KAMPANYE PARPOL PESERTA PEMILU TAHUN 2009
DI PROVINSI PAPUA

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Papua, Benny Sweny, S.Sos menegaskan dalam berkampanye, Partai Politik (Parpol) tidak boleh melakukan :

1. Mempersoalkan dasar negara Pancasila, Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
2. Melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
3. Tidak boleh menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon atau peserta Pemilu yang lain.
4. Tidak boleh menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat, mengganggu ketertiban umum, mengancam atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau peserta Pemilu yang lain.
5. Tidak boleh menggunakan fasilitas pemerintah, baik gedung, kendaraan dan lain-lain.
6. Parpol dilarang menjanjikan atau memberikan uang/materi lainnya kepada peserta kampanye.
7. Dalam kampanye rapat umum hendaknya jangan melibatkan anak-anak.

Apabila ketentuan di atas dilanggar, maka :

1. KPU Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota dapat menjatuhkan denda kepada pelaksana dan peserta kampanye.
2. Apabila melakukan tindakan pidana dapat diproses di pengadilan.
3. Apabila sudah berkekuatan hukum tetap maka calon anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kab/Kota dan DPD akan dibatalkan dari calon tetap anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kab/Kota dan DPD ; termasuk apabila terpilih juga bisa dibatalkan.

Kamis, 03 Juli 2008

RUU PENETAPAN PERPPU NO 1 TAHUN 2008 MENJADI UU DAN PENJELASANNYA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA


RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ...... TAHUN .......

TENTANG
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2001
TENTANGOTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA
MENJADI UNDANG-UNDANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : dst

Mengingat : dst
Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA MENJADI UNDANG-UNDANG.
PENJELASAN
ATAS

RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ...... TAHUN .......

TENTANG
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2001
TENTANG
OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA
MENJADI UNDANG-UNDANG
Pemberlakuan Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Barat memerlukan kepastian hukum yang sifatnya mendesak dan segera agar tidak menimbulkan hambatan percepatan pembangunan khususnya bidang sosial, ekonomi, dan politik serta infrastruktur di Provinsi Papua Barat.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Presiden telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, untuk memberikan landasan hukum yang kuat dalam pemberlakuan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Barat.
Berdasarkan Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat yang kemudian berubah menjadi Provinsi Papua Barat yang wilayahnya pada saat ini meliputi Kabupaten Manokwari, Kabupaten Teluk Wondama, Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Fak-fak, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Sorong, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Sorong Selatan, dan Kota Sorong dalam kenyataannya telah menjalankan urusan pemerintahan dan pembangunan serta memberikan pelayanan kepada masyarakat sejak tahun 2003, namun belum diberlakukan Otonomi Khusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Berdasarkan dengan hal tersebut serta dalam rangka optimalisasi penyelenggaraan dan efektivitas pemerintahan di Provinsi Papua Barat, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua perlu ditetapkan menjadi undang-undang.

PENJELASAN ATAS PERPPU NO 1 TAHUN 2008

PENJELASAN ATAS
PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2008

TENTANG

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2001
TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA
Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang kemudian menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun di Provinsi Papua Barat belum diberlakukan Otonomi Khusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat yang kemudian berubah menjadi Provinsi Papua Barat dalam kenyataannya telah menjalankan urusan pemerintahan dan pembangunan serta memberikan pelayanan kepada masyarakat sejak tahun 2003, namun belum diberlakukan Otonomi Khusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Pemberlakuan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Barat memerlukan kepastian hukum yang sifatnya mendesak dan segera agar tidak menimbulkan hambatan percepatan pembangunan khususnya bidang sosial, ekonomi, dan politik serta infrastruktur di Provinsi Papua Barat.
Wilayah Provinsi Papua pada saat ini meliputi Kabupaten Jayapura, Kabupaten Merauke, Kabupaten Biak Numfor, Kabupaten Mimika, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Paniai, Kabupaten Nabire, Kabupaten Yapen Waropen, Kota Jayapura, Kabupaten Waropen, Kabupaten Supiori, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Boven Digul, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Keerom, Kabupaten Asmat, Kabupaten Mappi, Kabupaten Sarmi, Kabupaten MemberamoRaya, Kabupaten Memberamo Tengah, Kabupaten Yalimo, Kabupaten Lanny Jaya, Kabupaten Nduga, Kabupaten Puncak, dan Kabupaten Dogiyai.
Wilayah Provinsi Papua Barat pada saat ini meliputi Kabupaten Manokwari, Kabupaten Teluk Wondama, Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Fak-fak, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Sorong, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Sorong Selatan, dan Kota Sorong.
Sehubungan dengan hal tersebut serta dalam rangka optimalisasi penyelenggaraan dan efektivitas pemerintahan di Provinsi Papua Barat, maka Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua perlu diberlakukan juga bagi Provinsi Papua Barat, sebagai dasar hukum pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Papua Barat.
Berdasarkan pertimbangan di atas maka sesuai dengan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Presiden berpendapat bahwa syarat hal ihwal kegentingan yang memaksa telah terpenuhi untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Senin, 23 Juni 2008

BUDAYA PAPUA

SEKILAS RENUNGAN TENTANG POTENSI BUDAYA PAPUA
Festival Danau Sentani (FDS) tahun 2008 baru saja berakhir dengan kesan bahwa Papua adalah wilayah yang kaya akan potensi seni dan budaya dan dapat diaktualisasikan dalam mendukung pembangunan di wilayah Papua melalui pengembangan sektor pariwisata.

Yang paling berkesan dari FDS adalah keragaman budaya dan tarian asli Papua, yang ditampilkan sebagai wujud ekspresi rasa masyarakat Papua melalui musik, tari maupun gambar serta menunjukkan suatu kondisi kemasyarakatan maupun ritual yang ada di masyarakat Papua.

Meskipun Papua memiliki kekayaan budaya dan keindahan alam namun pengembangan sektor pariwisata di Papua memang belum optimal karena terkendala masalah promosi, sarana dan prasarana, termasuk masalah koordinasi yang sinergis antara Pemda dengan masyarakat adat sehingga terjalin kesepahaman terkait penanganan masalah pariwisata dengan hak ulayat di sisi lain.

Sayangnya dalam kegiatan FDS tersebut nampaknya organisasi adat Papua kurang menunjukkan ketertarikannya, bahkan terkesan mengabaikan kegiatan FDS tersebut. Lebih jauh timbul pertanyaan apakah organisasi adat papua hanya peduli dengan masalah politik saja dalam rangka mengantarkan para pengurusnya untuk memperoleh jabatan politik, tetapi tidak memperhatikan pembinaan dan pengembangan seni budaya masyarakat Papua yang sebenarnya merupakan spirit utama masyarakat adat Papua.

Jumat, 06 Juni 2008

PERINGATAN SEABAD KEBANGKITAN NASIONAL

Deklarasi Indonesia Bisa

Saudara-saudara Sebangsa dan Setanah Air yang saya cintai dan saya banggakan, dengan terlebih dahulu kita panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan menyampaikan rasa hormat saya serta mengajak kepada seluruh Bangsa Indonesia untuk menyatukan pendapat demi meneruskan pembangunan bangsa menuju Indonesia maju dan sejahtera dalam abad 21 di mana tantangan yang kita hadapi untuk menjadi negara yang maju dan sejahtera. Oleh karena itu, Saudara-saudara pada hari yang bersejarah ini mari bersama-sama kita gelorakan "Indonesia Bisa".


Jakarta 20 Mei 2008.

Presiden Republik Indonesia H. Susilo Bambang Yudhoyono.

PERINGATAN SEABAD KEBANGKITAN NASIONAL

Pernyataan
Pemda Provinsi Papua dalam Kirab Obor Nusantara Putih memperingati Seabad Kebangkitan Nasional


Saudara-saudara Sebangsa dan Setanah Air, hari ini adalah hari yang bersejarah bagi Bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Merupakan suatu kebanggaan dan kehormatan bagi Provinsi Papua untuk menerima Kirab Obor Nusantara Putih yang nantinya akan dilanjutkan melalui jalur-jalur yang telah direncanakan. Pada kesempatan yang baik ini, kami Pemerintah Daerah Provinsi Papua secara resmi menerima Kirab Obor Nusantara Putih dan tentunya akan dilanjutkan menuju rute-rute yang telah ditetapkan. Kita semua percaya bahwa sebagaimana deklarasi yang telah disampaikan tadi untuk menuju suatu bangsa yang maju dihadapkan dengan berbagai tantangan, tetapi melalui deklarasi yang telah kita ucapkan bersama bahwa Indonesia bisa melanjutkan pembangunan dengan semangat kebangsaan yang telah dirintis oleh para pendahulu kita yaitu semangat perjuangan, bagaikan api yang tak kunjung padam, sehingga menggugah kita semua untuk mewariskan semangat berkebangsaan ini kepada generasi penerus dan selanjutnya melalui Kirab Obor Nusantara ini membangkitkan rasa kebanggaan bangsa yang bersatu, bangsa yang bermartabat untuk meneruskan cita-cita perjuangan yaitu Indonesia Jaya. Terima kasih Indonesiaku terima kasih Pahlawanku, Indonesia Bisa.

Asisten Bidang Aparatur Sekda Provinsi Papua Bpk. Drs. HP Kaisepo, MM

Kamis, 01 Mei 2008

KEPUTUSAN MRP NOMOR : 04/MRP/2008

KEPUTUSAN MRP NOMOR : 04/MRP/2008 tentang
POSISI BENDERA BINTANG KEJORA DALAM TATA HUKUM INDONESIA DAN PELAKSANAAN PP NO. 77 TAHUN 2007 TENTANG
LAMBANG DAERAH DI TANAH PAPUA
Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 21 Tahun 2001 menyatakan “Provinsi Papua dapat memiliki Lambang Daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan

Pasal 2 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2001 tidak diberikan penjelasan sehingga menimbulkan berbagai interpretasi.

INTERPRETASI DENGAN HATI YANG JERNIH :

Bendera Bintang Kejora adalah bendera kedaulatan negara Papua Barat buatan Belanda tahun 1961.
Lagu Hai Tanahku Papua adalah lagu kebangsaan negara Papua Barat buatan Belanda tahun 1961
Burung Mambruk adalah lambang negara Papua Barat buatan Belanda tahun 1961.

Dan hingga detik ini Bendera Bintang Kejora, Lagu Hai Tanahku Papua dan Burung Mambruk digunakan oleh kelompok OPM untuk melawan Pemerintah RI dengan ide separatisnya.

OTOMATIS BENDERA BINTANG KEJORA, LAGU HAI TANAHKU PAPUA DAN BURUNG MAMBRUK TIDAK BISA MENJADI LAMBANG DAERAH PROV. PAPUA SESUAI SEMANNGAT UU NO. 21 TAHUN 2001.

Jumat, 25 April 2008

SEJARAH PEMUDA DAN MASYARAKAT PAPUA MENENTANG KOLONIALISME BELANDA

SEJARAH PEMUDA DAN MASYARAKAT PAPUA
MENENTANG KOLONIALISME BELANDA
Sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dibacakan tanggal 17 Agustus 1945, seluruh pemuda dan masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke mengumandangkan pekik “Merdeka” dan bangkit melawan penjajahan Belanda dan sisa-sisa tentara Jepang. Setelah Perang Dunia II, Belanda berusaha menguasai kembali wilayah di Nusantara dengan membentuk Pemerintahan Hindia Belanda (NICA) dan didukung oleh kekuatan angkatan perang, KNIL, serta dibantu oleh tentara sekutu.
Memasuki tahun 1946, pergolakan pemuda dan seluruh masyarakat Indonesia melawan tentara Belanda merata di seluruh wilayah Nusantara, yaitu dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sunda Kecil, Maluku dan Irian. Namun, pemerintah RI merasa tidak cukup memiliki tenaga dan sumber daya untuk memimpin dan mengkoordinasikan serta membela seluruh kekuatan pergerakan dan perlawanan di wilayah Nusantara, sehingga akhirnya Pemerintah RI memutuskan mempertahankan wilayah Proklamasi hanya sebatas daerah Sumatera dan Jawa saja.
Dengan adanya kebijakan politik dan strategi perang tersebut, otomatis perjuangan para pemuda dan masyarakat di wilayah Papua tidak terpantau dan tidak terkoordinasikan dengan Pemerintah RI di Jawa. Padahal pada tahun 1946 tersebut di Tanah Papua terjadi perlawanan yang cukup hebat terhadap kolonialisme dan upaya pendudukan kembali oleh Pemerintah dan Tentara Belanda. Perlawanan tersebut tercatat terjadi di dua kota, yaitu di Merauke dan Hollandia (Jayapura sekarang).
Pada tanggal 14 Maret 1946 di Merauke terjadi pertempuran hebat antara para pemuda Papua melawan tentara kolonial Belanda. Para pemuda Papua tersebut merupakan mantan Heiho yang telah dididik ilmu kemiliteran oleh Jepang dan telah mengetahui tentang kemerdekaan RI melalui berita radio yang disampaikan oleh Pemerintah RI. Rasa kebangsaan mereka timbul dan bertekad untuk melawan penjajahan serta merebut kemerdekaan yang selama ini diidam-idamkannya. Dengan berbekal rasa nasionalisme, semangat pantang menyerah, serta ditunjang oleh pengalaman kemiliteran, para pemuda Papua di Merauke melakukan perlawanan militer terhadap tentara kolonial Belanda yang berusaha kembali menjajah Tanah Papua. Pertempuran hebat pun berlangsung di kota Merauke dan sekitarnya serta membuat keadaan di kota Merauke cukup mencekam selama tiga hari. Meskipun hanya bersenjatakan seadanya, para pemuda Papua di Merauke berhasil membuat kesulitan pada tentara kolonial Belanda yang bersenjatakan lengkap. Akhirnya, tentara kolonial Belanda berhasil menggagalkan upaya dari para pemuda Papua, dan sebagian besar pemuda Papua tersebut gugur sebagai kusuma bangsa serta sebagian kecil lainnya hilang tak tentu rimbanya.
Perjuangan dan perlawanan para pemuda dan masyarakat Papua di Hollandia (Jayapura sekarang) tergolong lebih sistematis dan terencana. Pada akhir tahun 1945 terjadi pertempuran antara pejuang Papua yang rata-rata berasal dari Digul dengan tentara kolonial Belanda yang dipimpin oleh Sunggoro. Tentara kolonial Belanda berhasil mematahkan perlawanan pejuang Papua tersebut dan menangkap Sunggoro.
Walaupun Sunggoro sudah meringkuk dalam penjara Hollandia dan sebagian besar pejuang Digul serta teman-temannya memilih berjuang di daerah RI namun pergolakan rakyat Irian tidak terhenti. Sunggoro dengan S. Papare, Martin Indey dan lain-lainnya mempersiapkan perlawanan untuk yang kedua kalinya terhadap Belanda. Pimpinan umum tetap pada Sunggoro, sehingga markasnya berada di dalam penjara. Betapapun ketatnya penjagaan di penjara, pasukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda dapat juga dipersiapkan bahkan ada beberapa penjaga penjara yang turut serta dalam pasukan perlawanan tersebut.
Sebagai Panglima ditunjuk Penggoncang Alam, seorang pejuang asal Minangkabau, sedangkan Martin Indey berhasil mempengaruhi sebagian besar anggota “Batalyon Papua” yang dikepalai oleh Kapten de Bruin. Batalyon Papua tersebut adalah pasukan yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda di mana personelnya terdiri dari orang asli Papua dengan tujuan untuk dijadikan pasukan penggempur guna menyerang Pemerintah RI.
Rakyat Papua menghormati dan menjunjung tinggi pemimpin-pemimpin patriotik – nasionalis Indonesia berkat adanya sosialisasi dan upaya yang dilakukan oleh Martin Indey, Papare, Rumkoren, dan lain-lain. Lebih kurang tigaperempat dari jumlah anggota Polisi turut serta dalam pasukan perlawanan. Sekolah Polisi pun sudah mendukung perjuangan yang akan dilakukan pasukan perlawanan. Di kalangan tentara Belanda sendiri (KNIL) ada lebih kurang 30 orang pemuda Menado yang bersedia turut serta. Dengan teliti diaturlah persiapan untuk melucuti KNIL, menangkap pembesar-pembesar Pemerintah Belanda dan menduduki stasiun radio. Pimpinan umum, Sunggoro, sudah memutuskan akan melakukan perlawanan terhadap Belanda pada tanggal 17 Juli 1946. Peluru-peluru sudah dibagikan dan pemuka-pemuka adat Papua serta pemuka masyarakat sudah diberitahu.
Namun, Belanda berhasil mencium adanya persiapan perlawanan terhadap kekuasaannya dan dilakukanlah razia secara besar-besaran. Akibatnya, terjadilah insiden-insiden perlawanan oleh para pemuda dan masyarakat Papua dalam skala yang kecil dan terbatas. Rencana perlawanan dan insiden tersebut dapat dipatahkan oleh Belanda. Banyak pejuang yang ditangkap. Belanda bertindak pula terhadap “Batalyon Papua”, meskipun Batalyon tersebut sudah sangat berjasa terhadap Belanda maupun tentara sekutu dalam membebaskan Irian dari pendudukan Jepang. Tetapi kini mereka dianggap paling berbahaya oleh pemerintahan Belanda (NICA).
Selanjutnya Belanda melakukan pembersihan di dalam alat-alat kekuasaannya, yang terbukti memiliki orientasi untuk berjuang bagi kemerdekaan dan keutuhan wilayah RI. Hanya KNIL-lah yang saat itu menjadi tulang punggung kekuasaan Belanda di Tanah Papua. Pamongpraja dan Swapraja Irian pun terbukti tetap menyokong gerakan kemerdekaan Indonesia. S. Papare dianggap Belanda berbahaya bila berada di Hollandia. Oleh Residen van Eekhout ia kemudian dipindahkan ke Serui untuk berpraktek sebagai dokter. Pada saat yang hampir bersamaan, Belanda mengasingkan rombongan Gubernur Ratulangi ke Serui, dan kejadian ini meninggikan moril pejuang-pejuang Irian di daerah Serui karena memperoleh bantuan pemikiran dari tokoh-tokoh pejuang yang berpengaruh.
Betapapun Belanda sangat mengucilkan S. Papare dan Gubernur Ratulangi namun melalui Gereja maupun melalui para pemuda pejuang Papua maka dapat terbina hubungan antara Papare dkk dengan rombongan Gubernur Ratulangi, sehingga dapat diatur rencana dan petunjuk-petunjuk politik dalam perjuangan untuk meraih kemerdekaan dari Pemerintahan Belanda.


Sumber :
1. DR. A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, 1977.
2. Pramoedya Ananta Toer, Kronik Revolusi Indonesia, 1999.

SEJARAH PAPUA : DARI MASA KE MASA HINGGA DEKADE 60-AN

SEJARAH PAPUA :
DARI MASA KE MASA HINGGA DEKADE 60-AN
Daerah Papua sejak dahulu telah dikenal dengan berbagai nama. Orang-orang Hindu menamakan daerah ini Negara Ujung Lautan, daerah penghasil hasil bumi dan rempah-rempah. Pujangga Walmiki dalam buku Ramayana-nya menamakan daerah Papua “Gunung Sjisjira” yang puncaknya menyapu langit dan dikunjungi oleh Dewa dan Dewana.
Pada jaman Sriwijaya (abad VIII) daerah ini dikenal oleh Tiongkok karena utusan-utusan Maharaja Sriwijaya Sri Indrawarman dalam perlawatan-perlawatannya ke Tiongkok beberapa kali telah disertai oleh beberapa putrid dari daerah Janggi yang waktu itu merupakan suatu bagian dari Kerajaan Sriwijaya. Orang Tiongkok menyebut daerah ini sebagai Tungki dan merupakan bagian dari daerah Maluku (Tidore sekarang).
Kitab Negara Kertagama karangan Prapanca menyebutkan bahwa Negara Kerajaan Majapahit pada tahun 1364 meliputi daerah-daerah dari Sumatra dan sekitarnya terus ke timur sampai dengan Ewanin (Semenanjung Onin sekarang) untuk bagian utara Papua dan Seran (Kowiai sekarang) untuk bagian selatan Papua
Dalam peperangan memperebutkan daerah pengaruh antara Kesultanan-kesultanan Tidore dan Ternate yang sebenarnya mempunyai asal keturunan yang sama, maka didapatkan bahwa pengaruh Ternate meluas ke pulau-pulau Halmahera di sebelah barat terus sampai dengan kepulauan-kepulauan Sangir dan sebelah selatan Sulawesi. Sedang Tidore menguasai kepulauan-kepulauan sebelah timur Halmahera Selatan dan Seram Timur meliputi pulau-pulau Aru dan Kai. Ahirnya, awal abad XVI daerah-daerah Raja Ampat dengan daratan Papua Barat masuk dalam kekuasaan Tidore.
VOC Belanda masuk ke dalam daerah ini pertama-tama tahun 1606, tetapi karena kecewa atas penyambutan dari orang-orang pribumi yang liar, biadab, ganas dan memusuhinya serta dianggap tidak akan menguntungkan perdagangannya karena sifat-sifat daerahnya yang kasar, maka hampir 230 tahun lamanya Belanda tidak menghiraukan sama sekali daerah ini. Asal nama Nova Guinea ialah dari seorang Spanyol Inigo Ortiz de Retes yang bertolak dari Tidore (1545) ke Panama, yang menyebutkan bahwa ia melihat orang Afrika yang sering dijumpainya sewaktu ia melihat orang-orang Papua di Biak dan Padaido dalam perjalanannya melalui kepulauan-kepulauan ini. Daerah-daerah tersebut diproklamirkannya sebagai milik Mahkota Spanyol, dan kemudian beralih ke tangan Pemerintah Kerajaan Belanda akibat adanya perjanjian Utrecht (1714) antara Spanyol dengan Negeri Belanda.
Belanda terpaksa membangun suatu benteng tahun 1828 dengan nama Fort du Bois di Teluk Triton (Kaimana) untuk menyatakan kekuasaannya di daerah ini, karena adanya usaha-usaha Inggris yang sudah menyerobot masuk ke wilayah Papua. Usaha-usaha Inggris ini berhasil karena adanya kerjasama dengan Nuku salah seorang Sultan Tidore yang memberontak kepada Belanda (VOC) hingga wafatnya pada usia lanjut. Sultan Tidore yang lain, yang merupakan ciptaan Belanda memprotes Inggris atas kekuasaannya di daerah Papua dan Tidore, namun Inggris tidak menghiraukannya. Akhirnya, Inggris harus pergi dari daerah Papua dan Tidore karena kehabisan bahan makanan dan penyakit beri-beri yang waktu itu sangat ditakuti di daerah tersebut.
Tahun 1828 Belanda menyatakan bahwa West Nieuw Guinea dari 141°BT di pantai selatan, kemudian ke barat, barat laut, ke utara sampai Tj. Jamurseba sebagai daerah miliknya kecuali hak-hak dari Sultan Tidore yang ada di Papua. Regerings Almanak Belanda tiap tahun menyebutkan, wilayah Kerajaan Tidore meliputi dari Pulau Tidore ke timur (Halmahera) dikurangi daerah-daerah Ternate, pulau-pulau Waigeo dan Misool, daratan Papua sampai garis 141° 10’ 47” BT terus ke selatan memotong sungai Fly beserta pulau-pulau di sekitarnya dan pulau-pulau di Teluk Geelvink.
Tahun 1910 hak Tidore atas daerah pantai selatan dengan ibukota Merauke diambil alih dengan harga F.6000,- oleh Belanda, yang menjadikannya Zuid Nieuw Guinea suatu afdeling langsung di bawah pemerintahannya. Melalui beberapa kali perubahan, maka sebelum pendudukan Jepang daerah-daerah Tidore disebut-sebut sebagai Swapraja (Zelfbesturende landschappen) meliputi 8 onderafdeling dengan 50 distrik yang masih diakui oleh Belanda sebagai daerah kesultanan Tidore. Di daerah tersebut ada pemerintahan campuran di mana Belanda melakukan control melalui pejabat-pejabat Gubernemen Belanda yang ditempatkan di daerah tersebut.
Setelah Jepang menyerah, Papua dijadikan residensi Nieuw Guinea. Sejak Perundingan Denpasar (Desember 1946) Belanda menginginkan bahwa Nieuw Guinea harus memperoleh kedudukan yang tersendiri terhadap Kerajaan Belanda susunan baru dan Negara Indonesia Serikat, walaupun penduduk aslinya masih sukar dapat memperdengarkan kehendaknya, tapi dasar yang sebenarnya adalah maksud mengadakan tempat pemindahan orang-orang Belanda dalam jumlah yang lebih besar terutama bagi orang-orang Belanda di Indonesia yang ingin hidup dalam susunan kenegaraannya sendiri. Pada Februari 1947 Belanda masuk “South Pacific Commision” yang dibentuk di luar PBB oleh Australia, Perancis, Selandia Baru, Inggris dan Amerika yang berkedudukan di Noumea dengan alasan :
- Irian Barat belum berpemerintahan sendiri
- Penduduknya belum mempunyai peradaban
- Pertimbangan strategis dalam rangka pertahanan bangsa-bangsa demokratik di Pasifik

Tahun 1950 ditunjuk seorang Gubernur yang memerintah atas nama dan mewakili Mahkota Kerajaan Belanda dengan dibantu oleh Dewan Kepala-kepala jawatan pemerintah umum dalam menjalankan roda pemerintahan. Dibentuk pula Dewan Nieuw Guinea dengan anggota 21 orang terdiri dari 9 orang Belanda dan 2 orang underbouw Belanda (bukan orang Belanda) serta 10 orang Wakil orang asli Papua. Penetapan keanggotaan dilakukan dengan cara pilihan dan penunjukan dengan komposisi sebagai berikut :
- Belanda terdiri dari 2 orang dipilih dan 7 orang ditunjuk.
- Underbouw Belanda terdiri dari 1 orang dipilih dan 1 orang ditunjuk
- Orang asli Papua diganti dengan penunjukan orang-orang Belanda yang merupakan pegawai pamong praja, wakil zending/missi karena menurut anggapan Belanda penduduk pribumi masih terlalu rendah tarafnya sebagai wakil dalam menentukan jalannya pemerintahan.

Untuk lebih menyempurnakan susunan legislatif pada tahun 1951 telah dibentuk dewan penasehat untuk afdeling Irian Barat Utara, Selatan, Barat, masing-masing diketuai oleh Residen yang bersangkutan.
Pada tahun 1953 telah diadakan penyusunan pembagian administratif daerah dengan hasil pembentukan afdeling-afdeling sebagai berikut :

- Nieuw Guinea Utara
- Teluk Geelvink
- Nieuw Guinea Selatan
- Nieuw Guinea Tengah – masih diatur dari Teluk Geelvink
- Nieuw Guinea Barat.

Pada1957 ada pemikiran untuk mengikutsertakan penduduk asli dalam pemerintahan setempat dengan cara pemilihan bertingkat dengan fase pertama membentuk dewan kampung dan selanjutnya bertingkat kepada dewan daerah. Namun kenyataannya, pemilihannya melalui penunjukan oleh Pemerintah Belanda sebagai cara untuk memaksakan terbentuknya dewan-dewan boneka, buatan Belanda.
Pada tahun 1960 timbul gagasan dari Pemerintah Belanda dalam bentuk politik penentuan nasib sendiri (self determination) bagi Irian Barat dengan waktu pelaksanaan dalam waktu 10 sampai 15 tahun ke depan baru dapat dilakukan di bawah pengawasan PBB. Gagasan tersebut dilatarbelakangi oleh perkembangan politik di Irian Barat yang menunjukkan mulai timbulnya gerakan nasionalisme Indonesia ditambah kegiatan-kegiatan Pemerintah RI dalam forum-forum internasional terhadap klaimnya atas irian Barat. Kondisi tersebut memaksa Belanda untuk merubah sikapnya untuk menyetujui pembentukan partai/organisasi dalam rangka membendung gerakan nasionalisme Indonesia serta sewaktu-waktu dapat dipakai sebagai alat menghadapi Indonesia. Selanjutnya, segera diusahakan pembentukan ”Dewan Nieuw Guinea” oleh Pemerintah Belanda, di mana anggotanya dipilih oleh Pemerintah Belanda dan sebagian besar terdiri dari orang Belanda. Dewan Nieuw Guinea dilantik pada tanggal 5 April 1961 di Hollandia, beranggotakan 27 orang dan diketuai oleh orang Belanda yang diangkat juga sebagai Staf Gubernuran. Untuk memenuhi syarat-syarat demokrasi ala Belanda akan ditunjuk pula orang-orang yang akan memegang peranan sebagai ”oposisi”. Tugas Dewan Nieuw Guinea adalah :
- Mengemukakan kepentingan-kepentingan Nederlands Nieuw Guinea kepada Pemerintah Belanda di Irian Barat
- Untuk mendapatkan penjelasan terhadap sesuatu hal dapat mengundang Gubernur dalam sidang
- Memberikan nasehat kepada pemerintah tentang sesuatu rencana Undang-undang.

Semangat perjuangan pro RI dan gerakan-gerakan kemerdekaan RI di Tanah Papua diakui oleh Belanda telah lama ada di Tanah Papua. Beberapa fakta yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut :
1. Penuturan petugas Belanda yang telah kembali ke negerinya menyebutkan tentang kesibukan aparat keamanan dan tentara Belanda di Tanah Papua setiap menghadapi momen 17 Agustus, hari Natal dan Tahun Baru, yang ditujukan terhadap kegiatan anasir-anasir yang dituduh pro RI dengan gerakan-gerakan pengibaran Bendera Marah Putih, penyobekan bendera Belanda menjadi Merah Putih.
2. Terjadinya perlawanan bersenjata seperti di Wamena (lembah Baliem), Merauke dan Hollandia.
3. Timbulnya perkelahian yang disebabkan pro dan anti RI antara kelompok-kelompok atau perorangan.
4. Di beberapa daerah, seperti di Yapen/Serui dikenal sebagai tempat-tempat kelompok pro RI
5. Munculnya organisasi perjuangan untuk melepaskan diri dari penjajah Belanda di seluruh Tanah Papua, sekalipun dengan kegiatan-kegiatan yang tersembunyi.

Dalam menghadapi perkembangan situasi di PBB pada tahun 1961 maka Belanda melancarkan suatu strategi baru dengan cara menyampaikan gagasan untuk mempercepat penentuan nasib sendiri bagi rakyat Irian Barat yang diusulkan untuk dilaksanakan pada tahun 1961 itu juga. Oleh karena itu dibentuklah Komite Nasional Papua, Oktober 1961, dengan tidak melalui sidang Dewan Nieuw Guinea namun tetap memperoleh persetujuan dari Dewan tersebut. Anggota Komisi Nasional Papua terdiri dari anggota-anggota Dewan yang pro Belanda ditambah dengan anggota-anggota baru yang diseleksi oleh Pemerintah Belanda sejumlah 80 orang. Dengan rekayasa dari Pemerintah Belanda, Komite Nasional Papua menyampaikan manifestonya kepada Dewan Nieuw Guinea yagn berisi :

1. Penentuan Bendera Papua
2. Lagu Kebangsaan Papua
3. Mengganti nama West Nieuw Guinea menjadi Papua Barat
4. Nama bangsa ialah Papua
5. Mengusulkan Bendera Papua dikibarkan tanggal 1-11-1961.

Melalui rekayasa dan tekanan dari Pemerintah Belanda, Sidang Nieuw Guinea menyetujui manifesto Komite Nasional Papua, kecuali pengibaran Bendera Papua tanggal 1-11-1961 dan menunggu keputusan Negeri Belanda yang akhirnya menentukan pengibaran Bendera Papua dilakukan tanggal 1-12-1961.



Sumber :
1. DR. Ir. W.C. Klein, Nieuw Guinea 1954
2. Kementerian Dalam Negeri Belanda, Rapport Nederlands Nieuw Guinea 1960
3. Militaire Topographiesche Dienst, Verslag Militaire Exploratie van Nederlands Nieuw Guinea 1907 – 1915
4. Majalah Nieuw Guinea studien 1960
5. Majalah Nederlands Nieuw Guinea 1960
6. Majalah Tijdschrift Nieuw Guinea 1952 – 1954.

Lagi, SEJARAH PAPUA

Lagi,
SEJARAH PAPUA

Sumber :
Ikrar Nusa Bhakti
Doktor dari Griffith University Australia, Thesis :
Indonesia – Papua New Guinea Relations 1975 – 1987, from Conflict
to a Better Understanding
Kapan gagasan kemerdekaan Papua muncul ? Ceritanya cukup panjang. Papua adalah ”Tanah yang Dilupakan”, bahkan pada masa kolonial Belanda sekalipun. Baru pada tahun 1949 – 1961 pemerintah kolonial melakukan pembangunan politik di Tanah Papua, itu pun setelah Belanda kehilangan sebagian besar daerah jajahannya di Nusantara karena adanya Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Sejak tahun 1950, partai-partai politik pun dibolehkan berdiri oleh pemerintah kolonial Belanda, di antara partai-partai tersebut ada yang pro Belanda, ada yang pro Indonesia, ada pula yang pro kemerdekaan Papua.
Menjelang Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag tahun 1949, Belanda memang mengambil ancang-ancang untuk mempertahankan Papua. Di mata Menteri Wilayah Seberang Lautan Belanda H.J. van Maarseveen, Belanda membutuhkan tanah di Timur Jauh yang bisa dijadikan Tropical Holland untuk menampung orang-orang pro-Belanda yang mengalami kesulitan di Indonesia ; dan Papua bisa menjadi pangkalan AL Belanda (Richard Chauvel and Ikrar Busa Bhakti, Policy Studies 5, East-West Center, Washington, 2004).
Karena desakan internasional dan PBB agar pemerintah kolonial Belanda segera menyerahkan Irian Barat kepada Pemerintah RI maka pada bulan April 1961 Belanda membentuk Nieuw Guinea Raad (Dewan New Guinea) yang 22 dari 28 anggotanya adalah orang Papua ; ada yang diangkat, dipilih langsung, atau dipilih melalui perwakilan. Selanjutnya, pada tanggal 27 September 1961, Menteri Luar Negeri (Menlu) Belanda Joseph Luns melontarkan ”Rencana Luns” ke Majelis Umum PBB. Intinya, ada organisasi atau otoritas internasional yang mengambil alih Irian Barat dan mempersiapkan penduduknya untuk menentukan nasib sendiri saat kondisi stabil. Akhir dari Rencana Luns tersebut adalah janji untuk memberikan kemerdekaan kepada Papua pada tahun 1970. Usulan Luns tersebut tentu saja ditolak oleh Menlu Dr. Subandrio dengan alasan merusak kesatuan nasional dan integritas teritorial Indonesia.
Di tengah perseteruan dua Menlu itu, pemerintah kolonial Belanda mempengaruhi dan memfasilitasi beberapa elit Papua anggota New Guinea Raad, seperti Nicolaas Jouwe, P Torey, Markus Kaisiepo, Nicolaas Tanggahma, dan Eliezer Jan Bonay (kemudian menjadi Gubernur Irian Barat Pertama), untuk mengadakan pertemuan pada 19 Oktober 1961 serta mengundang 70 pemimpin Papua, 17 diantaranya diangkat sebagai anggota Komite Nasional. Kejadian tersebut yang kemudian diinterpretasikan oleh kelompok OPM saat ini sebagai Kongres Nasional Papua I.
Pertemuan ini menghasilkan manifesto politik, yaitu mulai 1 November 1961 : a. Bendera kami dikibarkan bersebelahan dengan Bendera Belanda ; b. Lagu kebangsaan kami, Hai Tanahku Papua, dinyanyikan bersama bersama dengan lagu Wilhelmus ; c. Nama tanah air kami adalah Papua Barat ; d. Nama rakyat Kami adalah Orang Papua. Kemudian, pada 1 Desember 1961 administrasi kolonial Belanda membolehkan penaikan bendera ”Bintang Kejora” dan pelantunan lagu Hai Tanahku Papua di Hollandia (Jayapura sekarang).
Dengan adanya kejadian tersebut menunjukkan kurang adanya itikad yang baik dari Pemerintah kolonial Belanda dalam menyelesaikan masalah Irian Barat sesuai dengan salah satu butir perjanjian dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Pemerintah RI dengan Kerajaan Belanda tahun 1949. Selanjutnya, tak heran jika Bung Karno mengumandangkan Trikora tanggal 19 Desember 1961, di mana pada butir pertamanya menyebutkan, ”Bubarkan Negara Boneka Papua buatan Belanda kolonial”.

Jumat, 18 April 2008

SEJARAH PEPERA

SEJARAH PEPERA
(disarikan dari berbagai sumber)

Proses perjalanan menuju Pepera melewati beberapa fase yang perlu dijelaskan dan dipahami oleh Kita bersama, untuk dapat membangun tanah Papua yang adil dan damai di masa mendatang.

1. Pada Masa Hindia Belanda

Sejak tahun 1828, Irian Barat merupakan wilayah jajahan Belanda, ditandai dengan dibangunnya Benteng Fort Du Bus di Teluk Triton. Pada masa Kolonial Belanda, Papua Barat merupakan bagian dari wilayah Hindia Belanda di bawah administrasi Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia. Karena itu sebagaimana pulau-pulau lain di Nusantara, menurut azas uti possidetis juris, maka Papua Barat otomatis beralih statusnya menjadi bagian wilayah Republik Indonesia sejak saat Proklamasi 17 Agustus 1945.
Dalam konteks Hindia Belanda hanya NKRI sebagai legal successor state di wilayah Nusantara, termasuk Papua/Irian. Dalam sejarahnya, memang Belanda telah mengingkari kemerdekaan Indonesia atau menolak mengakui proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 dengan berupaya kembali mendirikan Hindia Belanda setelah selesainya Perang Dunia II. Selanjutnya pemerintah Hindia Belanda berusaha memecah belah NKRI menjadi beberapa negara boneka termasuk salah satunya adalah wilayah Papua/Irian Barat. Terakhir melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, pemerintah Hindia Belanda menunda integrasi wilayah Papua/Irian Barat ke dalam NKRI hingga tahun 1953. Namun hasil KMB ini diingkari oleh Belanda yang selanjutnya diikuti dengan perkuatan administrasi dan kekuatan militernya di Papua/Irian Barat.
Oleh karena pengingkaran Pemerintah Hindia Belanda tersebut maka pada tahun 1954 Pemerintah RI mengajukan permasalahan ini kepada Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Atas dukungan penuh dari negara-negara peserta Konferensi Asia Afrika (KAA) maka pada bulan April 1955, PBB membuat Resolusi untuk mendorong Indonesia dan Belanda menyelesaikan masalah Irian Barat secara damai.
Hingga tahun 1961, Irian Barat masih dalam status quo dan tidak terlihat tanda-tanda itikad baik dari Pemerintah Hindia Belanda untuk menyelesaikan masalah Irian Barat. Akhirnya Pemerintah RI mengumandangkan TRIKORA. Akhirnya pada tahun 1962 terjadi pertempuran bersenjata yang dahsyat antara Indonesia dan Belanda di Pantai Barat Irian.
Situasi ini disikapi Sekjen PBB, U Thant dengan menunjuk Dubes AS Elsworth Bunker sebagai mediator untuk Indonesia dan Belanda. Pada tanggal 15 Agustus 1962, atas inisiatif Bunker, dicapai Agreement between Republic of Indonesia and the Kingdom of the Nederlands Convering West New Guinea (West Irian) atau dikenal dengan New York Agreement.
Janji Pemerintah Hindia Belanda untuk memberikan kemerdekaan kepada Papua/Irian Barat pada tahun 1963 merupakan bentuk propaganda politik yang sengaja diciptakan oleh Pemerintah Hindia Belanda karena semakin meningkatnya tuntutan dunia internasional, melalui PBB, agar Pemerintah Hindia Belanda mentaati hasil KMB tahun 1949 yang telah disepakati serta New York Agreement tanggal 15 Agustus 1962. Diharapkan dengan adanya janji kemerdekaan tersebut akan membuat terjadinya perpecahan di masyarakat Papua, yang memang sudah terindikasi oleh Pemerintah Hindia Belanda masyarakat Papua akan memilih untuk bergabung dengan NKRI.

2. New York Agreement sebagai Produk Internasional

Melalui berbagai perundingan termasuk upaya Sekjen PBB, akhirnya Belanda dan Indonesia menandatangani persetujuan New York pada tanggal 15 Agustus 1962 yang memuat road map penyelesaian sengketa atas Papua/Irian Barat yang intinya adalah bahwa administrasi Papua/Irian Barat diserahkan tidak langsung dari Belanda ke Indonesia, melainkan dari Belanda kepada UNTEA sebagai masa transisi, kemudian dari UNTEA kepada Indonesia.
Pertukaran instrumen ratifikasi Persetujuan New York dilakukan pada tanggal 20 September 1962 antara Indonesia dan Belanda tetapi pertukaran tersebut tidak menjadikannya otomatis berlaku karena adanya pihak ketiga yang terlibat yaitu PBB. Biasanya pertukaran instrumen ratifikasi dari satu agreement memastikan berlakunya agreement dimaksud. Persetujuan bilateral ini diterima oleh PBB melalui Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1752 dan dengan Resolusi tersebut, persetujuan berlaku terhitung mulai tanggal 21 September 1962, yaitu pada saat resolusi diterima.
Sesuai persetujuan New York pada tanggal 1 Oktober 1962, Wakil Gubernur H. Veldkamp menyerahkan kekuasaan kepada UNTEA atas Papua/Irian. Pada acara penyerahan ia mengatakan : “Mulai saat ini, akibat persetujuan internasional yang berhubungan dengan itu, maka tanah dan bangsa Nieuw Guenea Barat telah ditempatkan di bawah kepemerintahan yang baru : penguasa sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedaulatan Netherlands atas tanah ini telah berakhir. Tibalah suatu jangka waktu yang baru, jangka mana berlangsung sampai pada saat pertanggungjawaban atas pemerintahan diserahkan kepada Indonesia sepenuhnya”.
Ada dua hal yang perlu dicatat sehubungan dengan pernyataan tersebut. Pertama, kedaulatan Belanda berakhir atas Papua/Irian menurut azas uti possidetis juris atas seluruh wilayah Nusantara. Kedua, Belanda telah memperkirakan bahwa Pepera akan berujung kepada status Papua/Irian Barat akan tetap di tangan Indonesia. Dari saat ini sangat terasa nuansa bahwa persetujuan New York merupakan a face saving formula (formula politik untuk menyelamatkan muka) bagi Pemerintah Belanda.
Persetujuan New York tersebut sah menurut hukum internasional dan tidak bisa begitu saja dicabut apalagi oleh pihak ketiga yang tidak terlibat dalam persetujuan, karena sesuai dengan azas pacta sunt servanda seluruh road map yang digariskan dalam persetujuan, mengikat pihak-pihak yang terlibat dalam persetujuan.

3. The Act of Free Choice atau Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) sebagai Pelaksanaan dari New York Agreement

Pepera telah dilaksanakan sesuai kondisi dan tingkat perkembangan masyarakat Irian saat itu yang tidak memungkinkan dilakukan dengan cara one man one vote. Pada masa pelaksanaan Pepera adalah sulitnya medan dan keprimitifan penduduk asli Papua. Menerapkan kondisi sekarang sebagai ukuran dalam menilai keadaan waktu Pepera, jelas tidak adil dan merupakan upaya memutarbalikkan sejarah.
Pada tanggal 23 Agustus 1968, Fernando Ortiz Sanz tiba di Irian Barat dan memulai perjalanan 10 hari sejauh 3000 mil ke daerah-daerah di seluruh Papua, dengan menggunakan pesawat. Sekembalinya dari perjalanan tersebut, Fernando Ortiz Sanz menulis dalam suatu laporan untuk Sekretaris Umum PBB U Thant bahwa : “Pemerintah harus diberikan kredit atas kemajuan dalam pendidikan dasar, proses pembauran melalui pemakaian bahasa umum (Indonesia), pembangunan sekolah dan menunjukkan usaha-usaha pergaulan yang bersahabat”. Dia juga menambahkan : “Kita mengetahui bahwa prinsip ‘satu orang satu suara’ tidak dapat dilaksanakan di semua daerah Papua, karena kurangnya pengalaman luar dari penduduk. Kita juga mengakui bahwa Pemerintah Indonesia dimana memperlihatkan ketidakpastian tentang hasil-hasil musyawarah, akan mencoba, dengan semua maksud-maksud pembagian itu, mengurangi jumlah orang, perwakilan-perwakilan, dan lembaga-lembaga musyawarah”.
Sekarang yang menjadi persoalan dan sering diangkat dalam forum oleh penentang Pepera adalah mengapa hanya dua tahun sesudah Pepera, Pemerintah RI dapat menyelenggarakan Pemilu di seluruh Papua sebagai bagian dari Pemilu nasional Indonesia dengan cara one man one vote. Mungkinkah hanya dalam dua tahun penduduk Papua yang ‘primitif’ itu berubah menjadi modern, dan masalah sulitnya medan diselesaikan. Jawabnya adalah mungkin, karena hal itu memang telah dilakukan oleh Pemerintah RI, yang dengan segala potensi yang ada saat itu berusaha menunjukkan pada dunia bahwa RI dapat membawa masyarakat Irian Jaya menuju demokrasi melalui Pemilu.
Perlu dipahami juga bahwa dalam menjalankan demokrasi, one man one vote bukanlah satu-satunya cara, tetapi melalui sistem perwakilan demokrasi juga bisa dilaksanakan. Kenyataannya, hal ini terjadi dalam praktek demokrasi di dunia. Jadi janganlah mempersoalkan keabsahan Pepera karena hanya karena menggunakan sistem demokrasi perwakilan.
Proses pelaksanaan Pepera dilaksanakan dari tanggal 24 Juli hingga bulan Agustus 1969 dan berlangsung secara musyawarah. Pepera tersebut dilaksanakan di 8 Kabupaten yang ada pada saat itu, yaitu Merauke, Jayawijaya, Paniai, Fakfak, Sorong, Manokwari, Biak dan Jayapura. Pepera dilaksanakan oleh 1026 anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP) mewakili jumlah penduduk Papua yang berjumlah 809.327 jiwa. Ke-1026 anggota DMP tersebut terdiri atas 400 orang mewakili Unsur tradisional (Kepala Suku/Adat), 360 orang mewakili Unsur Daerah dan 266 orang mewakili Unsur Organisasi Politik/Organisasi Kemasyarakatan/Golongan.
Pelaksanaan Pepera ini berlangsung secara demokratis dan diawasi oleh masyarakat internasional, serta berlangsung sesuai praktek-praktek internasional, di bawah nasehat, bantuan serta partisipasi PBB. Petugas PBB yang mewakili Sekjen PBB adalah Dubes Bolivia Fernando Ortiz Sanz.
Hasil dari Pepera yang dilangsungkan di 8 Kabupaten Irian Barat (Papua), semuanya memilih dan menetapkan dengan suara bulat bahwa Irian Barat merupakan bagian mutlak dari Republik Indonesia. Hasil tersebut disepakati dan disetujui dengan membubuhkan tanda tangan semua yang hadir dalam rapat Pepera tersebut.
Tentang bulatnya suara tentu menyangkut bagaimana piawainya diplomat kita dan tim sukses Republik Indonesia mengajak dan mempengaruhi para peserta rapat Pepera. Namun semua keputusan diserahkan kepada seluruh peserta rapat Pepera dan sesuai dengan aspirasi masyarakat Irian Barat, keyakinan dan dorongan hati nuraninya maka para peserta rapat Pepera memilih untuk bergabung dengan NKRI. Ini menandai bahwa secara de facto masyarakat Irian Barat memilih untuk berintegrasi dengan NKRI. Lebih penting lagi bahwa pelaksanaan Pepera saat itu sejak awal telah diberitahukan kepada PBB serta Belanda, dan pelaksanaannya selalu diikuti dari dekat oleh Pejabat PBB yang bertugas mengawasi.

4. Resolusi PBB No. 2504 Sebagai Bentuk Pengakuan PBB atas Hasil PEPERA

Dalam Sidang Umum PBB, 19 November 1969, dilakukan pembahasan tentang pelaksanaan pekerjaan yang diberikan kepada Sekjen PBB tentang pelaksanaan PEPERA di Irian Barat. Berdasarkan hasil pembahasan tersebut selanjutnya 6 negara mengusulkan untuk mengeluarkan Resolusi 2504 atas pelaksanaan PEPERA di Irian Barat. Akhirnya, resolusi tersebut diterima oleh Majelis Umum PBB dengan imbangan suara 84 Setuju, tidak ada yang menentang dan 30 abstain. Dalam Resolusi 2504 tersebut disebutkan bahwa, “Takes note of the report of the Secretary General and acknowledges with appreciation the fulfillment by the Secretary General and his representative of the tasks entrusted to them under the agreement of 15 August 1962 between the Republis of Indonesia and The Kingdom of the Netherlands concerning West New Guinea (West Irian).
Dapat dipahami bahwa, pelaksanaan Pepera diterima oleh Sidang Majelis Umum PBB dengan catatan. Artinya bahwa masyarakat internasional menerima hasil Pepera yang memutuskan bergabungnya Irian Jaya dalam NKRI.
Pembatalan terhadap Resolusi PBB adalah tidak mungkin, karena apa yang dihasilkan sudah merupakan keputusan yang bersifat final. Resolusi PBB 2504 merupakan penegasan pengakuan PBB atas kedaulatan NKRI, termasuk Irian Jaya di dalamnya, dan karena itu setiap upaya untuk memisahkan daerah tersebut dari NKRI merupakan penentangan terhadap hukum internasional yang berlaku, termasuk terhadap Piagam PBB itu sendiri.
Dalam prinsip tata kehidupan internasional, tidak satupun Negara menyetujui gerakan separatisme. Dukungan dan persetujuan terhadap separatisme adalah bentuk pelanggaran terhadap prinsip dan tujuan PBB.
Oleh karena itu, segala macam upaya dan bentuk yang bertujuan hendak memisahkan Papua dari NKRI sesungguhnya adalah bentuk gerakan separatisme yang harus diluruskan. Selain itu, bila ada segelintir orang yang mengusulkan ide untuk jajak pendapat atau referendum ulang di wilayah Papua, maka ide tersebut sungguh sangat tidak berdasar dan jelas tidak mungkin dilakukan, karena secara de facto dan de jure pada tahun 1969 rakyat Irian Barat (Papua) telah melaksanakan jajak pendapat/referendum melalui PEPERA dan telah memilih serta menetapkan dengan suara bulat bahwa Irian Barat (Papua) merupakan bagian integral dari NKRI.

5. Tidak Mungkin Pembatalan Resolusi PBB No. 2504

Adalah mustahil untuk meminta Pepera dibatalkan oleh Majelis Umum PBB. Selama ini PBB belum mengenal judicial review terhadap Resolusi yang dikeluarkannya. Selain itu, PBB merupakan organisasi dimana anggotanya adalah negara, sehingga tidak mungkin sebuah gerakan (movement) atau Lembaga Swadaya Masyarakat meminta peninjauan kembali atas putusan atau resolusi yang dikeluarkan oleh PBB.
Resolusi Majelis Umum PBB mempunyai peran penting untuk menentukan berdiri tidaknya sebuah negara atau penggabungan wilayah pada suatu negara. Misalnya, pada tahun 1965 PBB mengeluarkan sebuah Resolusi yang menolak keabsahan secara hukum dari deklarasi sepihak atas kemerdekaan dari Rhodesia. Dalam Resolusi tersebut negara-negara anggota diminta untuk tidak mengakui proklamasi yang dilakukan oleh Rhodesia. Sebanding dengan kejadian di atas, Resolusi yang dikeluarkan oleh PBB untuk mengakui hasil Pepera harus dianggap sebagai dokumen yang menentukan bahwa act of free choice telah dilakukan dan hasil Pepera sudah diterima oleh hukum internasional melalui Resolusi PBB sehingga keberadaan Papua dalam NKRI adalah sesuatu yang sudah final.

6. Tuntutan Pendaftaran Permasalahan Papua ke Komisi Dekolonisasi PBB adalah Tidak Mungkin dan mengingkari Azas Dekolonisasi Internasional

Papua merupakan bagian integral dari wilayah kedaulatan Republik Indonesia sejak tanggal 17 Agustus 1945. Hal ini merupakan konsekwensi logis dari azas uti possidetis juris (batas wilayah negara bekas jajahan yang kemudian merdeka, mengikuti batas wilayah sebelum negara tersebut merdeka) dalam hukum internasional, yang telah diakui dan dipraktekkan oleh berbagai negara.
Di samping azas uti possidetis juris tersebut, dalam menghadapi Belanda (dulu) dan separatis sekarang ini, perlu dipahami azas-azas lain yang mendasari dekolonisasi atau memerdekakan daerah-daerah jajahan, seperti :
a. Azas dekolonisasi dilakukan sekali dan berlaku selamanya. Artinya sebuah negara yang sudah merdeka dari penjajahan tidak lagi memerlukan proses dekolonisasi. Dalam proses konteks Indonesia sebagai legal successor state bagi Hindia Belanda, Indonesia tidak bisa lagi mengalami proses dekolonisasi atau dipecah-pecah atau sebagian wilayahnya dipisahkan menjadi negara tersendiri atau dijadikan kembali menjadi daerah jajahan/koloni.
b. Selain itu, Azas dekolonisasi berlaku selamanya. Hal tersebut penting untuk kepastian hukum yang diperlukan oleh setiap masyarakat termasuk masyarakat internasional dalam membangun dan memelihara serta melestarikan perdamaian dan keamanan internasional.

Proses dekolonisasi dilakukan secara utuh dalam pengertian bahwa di atas sebuah daerah jajahan hanya didirikan sebuah negara berdaulat sebagai successor state, tidak dua atau lebih. Dengan demikian maka tuntutan OPM untuk pembentukan dan pendaftaran permasalahan Papua ke Komisi Dekolonisasi PBB adalah sungguh sangat tidak relevan lagi.

Jumat, 11 April 2008

SUARA HATI PAPUA

SUARA HATI PAPUA

konflik adalah makanan Kami di sini
tetapi apa muara dari semua ini ???

KESERAKAHAN
PEREBUTAN KEKUASAAN
PERLOMBAAN MENCARI KEKAYAAN MATERI

SUARA HATI masyarakat PAPUA hilang bagaikan diterpa angin topan
ditengah pusaran gelombang politik dan kepentingan elit yang tidak kenal KASIH
suara hati Kami tidak ada lagi dan menjadi tidak bermakna bagi Mereka.

DIMANA ITU KEBENARAN, semuanya penuh tipu muslihat
DIMANA ITU KETENTRAMAN DAN KEDAMAIAN, semua itu hanya menjadi impian semu
DIMANA ITU KESEJAHTERAAN, itu hanya jadi slogan elit politik

PEMDA, MRP, DPRP semuanya adalah tipu-tipu
KORUPTOR dan PEMAKAN UANG RAKYAT
UCAPANNYA TIDAK LAGI DAPAT DIPERCAYA !!!
PEMBUAT RIBUT dan TIDAK MEMIKIRKAN RAKYAT !!!
UANG ADALAH SEGALANYA
BILA ADA UANG mereka diam
BILA TIDAK ADA UANG mereka buat-buat Kerusuhan dan Isu-isu murahan.

ELIT POLITIK PAPUA SUDAH BUKAN LAGI REFLEKSI SUARA HATI PAPUA............